Lindungi Keluarga Kita dengan Antiseptik.

Foto: Okezone

Bagi kita yang awam tentang kesehatan, memang sering abai dalam melakukan pemeliharaan kesehatan diri serta keluarga, lingkungan tempat tinggal, maupun rumah dimana kita tinggal dan berkumpul bersama keluarga tercinta.

Padahal begitu banyak penyakit yang ditimbulkan oleh kondisi lingkungan yang kurang sehat dan tidak terawat dengan baik. Salah satu contoh paling nyata saat ini adalah terjadinya Pandemi Covid-19. Hampir 900 ribu orang telah meninggal di seluruh dunia dari total kasus yang mencapai 27,4 juta, sembuh 18,4 juta.

Seperti dapat kita lihat pada table di atas ini, korban terbesar yang meninggal ada di Amerika Serikat, yaitu 192 ribu orang. Berikut Brazil 127 ribu korban meninggal, India (72.775), Peru (29.976) dan Rusia (17.993).

Bagaimana dengan kita? Trend peningkatan korban terjadi disetiap hari. Pemerintah dengan segenap usaha dan tenaga yang dimiliki berjuang melawan penyebaran pandemi yang telah menelan ribuan korban ini. Tapi bagaimana dengan tanggapan masyarakat Indonesia sendiri? Menyedihkan.

Betapa banyak model kampanye yang telah disampaikan pemerintah, baik itu melalui media mainstream, media sosial maupun media tradisional, namun korban tetap berjatuhan. Jadi ada apa sebenarnya yang terjadi dengan masyarakat kita?

Masa bodoh dan kurangnya kepedulian, itulah fakta yang tidak dapat dibantah. Betapa banyak kita menemukan warga masyarakat yang lalai menjaga diri dan keluarga mereka. Bahkan banyak diantaranya yang terpengaruh dengan berita hoax yang mengatakan kalau pandemi ini adalah buatan, berita bohong dan konspirasi asing.

Tidakkah mereka melihat korban berjatuhan begitu banyak? Apakah mereka menunggu virus corona itu menyerang mereka atau keluarganya dulu baru percaya? Sementara mereka dengan santainya mengabaikan protocol kesehatan yang dianjurkan pemerintah dengan 3 M-nya, yaitu: 1. Memakai masker dengan benar.  2. Menjaga jarak aman 1-2 meter dan 3. Mencuci tangan dengan sabun atau cairan sanitizer sesering mungkin.

Ketidak pedulian atau kemasabodohan warga masyarakat itu sendiri seakan mereka pelihara. Padahal bila seandaninya mereka tidak tahu, mereka bisa bertanya kepada orang yang mengerti dan lebih tahu. Banyak media yang bisa mereka manfaatkan untuk mencari tahu.

Seandainya kita tidak bisa meninggalkan rumah karena sakit atau lebih manjaga diri dan keluarga dari penularan pandemi Covid-19, maka kita bisa bertanya melalui media online yang memang khusus bergerak dibidang pelayanan kesehatan, misalnya, Halodoc.

Bagaimana kita menjaga diri dan lingkungan kita dari serangan virus pembunuh yang tidak kelihatan ini? Seperti yang sudah dijelaskan diatas yaitu dengan 3M. Namun ada satu cara lagi yang dapat kita lakukan, yaitu, mandi dengan sabun yang mengandung antiseptik. Sabun antiseptik ini cukup ampuh untuk membunuh kuman-kuman atau virus yang hinggap di tubuh kita.

Mengenal Antiseptik

Sebenarnya antiseptik apa sih? Pengertian antiseptik adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membersihkan luka memar, luka iris, luka lecet, dan juga luka bakar ringan, yang terjadi akibat trauma seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, ataupun kecelakaan lainnya. Antiseptik juga bisa disebut sebagai bahan yang digunakan untuk mencegah infeksi pada jaringan tubuh yang hidup seperti permukaan kulit dan bagian seperti bibir, saluran kencing dan juga alat kelamin. Itulah pengertian antiseptik sebenarnya

Antiseptik berguna dalam menghambat pertumbuhan kuman pada jaringan hidup. Antiseptik selalu digunakan dalam berbagai kondisi medis, termasuk untuk membersihkan luka terbuka dan digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang masuk saat proses operasi. Antiseptik juga dapat membunuh kuman lain, tapi hal ini tergantung pada banyaknya konsentrasi, lamanya paparan antiseptik, dan seberapa banyak kuman menempel pada jaringan. Berikut ini beberapa daftar obat antiseptik yang umum digunakan:

  • Alkohol. Alkohol merupakan antiseptik yang kuat, yang akan membunuh kuman yang terkena dengan cepat. Para tenaga medis biasanya menggunakan alkohol sebelum melakukan tindakan seperti suntik dan infus. Tetapi jarang digunakan pada bagian luka bakar karena menimbulkan rasa sakit.
  • Rivanol. Antiseptik yang tidak mengiritasi jaringan sehingga sering digunakan dalam pembersihan luka seperti bisul, borok, luka iris, dan juga untuk mengompres luka. Kelemahan rivanol adalah hanya untuk bakteri jenis tertentu saja.
  • Hidrogen peroksida (H2O2). Antiseptik ini berfungsi mengatasi luka borok karena sifat antiseptik yang menyerang kuman tertentu yang biasanya terdapat pada borok. Kelemahan dapat memperlama waktu penyembuhan dan juga menimbulkan bekas pada luka, oleh karena itu sebaiknya gunakan dalam jumlah tertentu saja.
  • Povidone Iodine (betadine). Antiseptik yang lebih ditoleransi pada kulit sehingga tidak menghambat penyembuhan luka. Selain itu betadine berguna untuk antiseptik pada berbagai jenis kuman sehingga masih menjadi pilihan dalam mengobati luka – luka akibat trauma seperti luka iris, luka lecet, luka terbuka, dan luka lainnya.

Siapkan selalu disinfektan

Selain mandi dengan sabun yang mengandung antiseptik, membersihkan luka dengan cairan yang mengandung alkohol, kita juga harus selalu berusaha menjaga dan membersihkan lingkungan rumah kita dengan cairan disinfektan. Seperti mengepel lantai, mengelap meja, kursi dan jangan lupa yang paling penting yaitu gagang pintu rumah.

Apakah kita pernah menghitung berapa kali dalam sehari memegang gagang pintu saat keluar masuk rumah? Jutaan bakteri  maupun virus berkumpul di gagang pintu rumah bila kita tidak pernah membersihkannya. Siapa tahu diantara bakteri dan virus adalah virus berbahaya yang mengancam kesehatan dan kehidupan kita, seperti halnya virus corona yang mematikan itu.

Jangan lupa selalu mempersiapkan cairan disinfektan ini di rumah kita. Bila belum paham atau belum mengerti disinfektan apa yang kita butuhkan, tanya saja kepada ahlinya melalui telepon, WA atau melalui aplikasi yang terdapat di HP kita, seperti aplikasi Halodoc.

Jadi kita dapat berbicara dengan dokter spesialis, menanyakan berbagai hal tentang sakit yang kita derita dan penanganannya yang tepat. Kita juga bisa membeli obat, serta melakukan pemeriksaan laboratorium sekalipun, agar dokter bisa lebih akurat dalam memeriksa dan memberikan pelayanan kesehatan maupun tindakan preventive serta pengobatannya.

Pandemi Covid-19, memang telah meluluhlantakkan pola kehidupan kita sehari-hari. Penyebaran virusnya yang tak kasat mata, membuat kita selalu dalam kecemasan yang tak berujung.

Tumpukan Koran Itu Seakan Melambai Memanggilku.

Pelan-pelan aku berjalan mendekati pintu yang terbuka itu. Bila sebelumnya aku merasakan sedikit kecewa mendekati putus asa, maka kini yang terasa adalah rasa was-was atau harap-harap cemas. Apa yang akan aku lakukan setelah sampai disana nanti? Tak seorangpun yang aku kenal, dan lagi tak mungkin aku akan menyelonong begitu saja ke dalam.  Pesan Umi belasan tahun sebelumnya masih tetap tertanam dalam hati. Jangan pernah masuk rumah orang tanpa izin, walau itu rumah saudara sendiri, apalagi rumah orang lain yang tidak dikenal.

Sampai di pintu ruang redaksi yang terbuka tersebut, aku berdiri di pinggirnya, bersandar ketiang pintu. Aku mengintip ke dalam, yang terlihat hanya satu orang laki-laki tua sedang mengetik, sambil sesekali berbicara dengan orang yang berada di meja lain di depannya. Aku tidak melihat  dengan siapa dia mengobrol, walau suaranya juga suara laki-laki, tapi tubuhnya tertutup oleh lemari buku yang membatasi ruang tunggu dengan ruang redaksi.

Pandangan mataku beralih ke meja yang ada di ruang tunggu Redaksi. Selain Harian Haluan, aku juga melihat berbagai macam surat kabar terbitan luar daerah berserakan di atas meja tersebut, diantaranya, Kompas, Indonesia Raya, Surabaya Post, Waspada dan Pikiran Rakyat serta beberapa lagi, tapi nama korannya tertutup, hanya sebagian kecil yang terlihat, sehingga aku tidak tahu itu apa  nama koran tersebut. Juga tidak semua koran itu aku tahu terbitan mana, kecuali Kompas dan Indonesia Raya yang terbitan Jakarta dan Surabaya Post yang dengan jelas menyebutkan darimana koran tersebut berasal, ditambah lagi dengan gambar Tugu Pahlawan mengisi spasi antara Surabaya dan Post.

Sudah beberapa bulan aku tak pernah membaca surat kabar, sejak aku meninggalkan Payakumbuh dan pindah ke Solok, dan dari Solok pindah lagi ke kota Padang ini. Melihat beraneka surat kabar menumpuk di atas meja ruang tamu, rasanya aku ingin menghambur kesana dan membaca semua koran itu sepuasnya, namun rasa malu, takut juga nasehat Umi berhasil menahan diriku agar tidak masuk kesana tanpa izin.

Suara batuk dan bunyi langkah yang datang dari luar mengagetkan aku, sehingga dengan cepat aku memutar badan dan tidak lagi mengintip ke ruang redaksi tersebut. Rasa takut membuncah di dalam dadaku, takut kalau aku dituduh macam-macam.

Sosok yang membuat aku terkejut tersebut masuk ke ruang redaksi, kemudian menyebut nama pak Datuk kepada orang tua yang asyik mengetik tadi dan menyebut papa kepada orang yang tersembunyi di balik lemari buku yang membatasi ruang redaksi dengan ruang tunggu. Sementara itu aku di luar masih menenangkan diri sambil bersandar ke dinding di samping pintu ruang redaksi, mengatur nafas atas keterkejutan yang baru saja aku alami.

Belum lagi sepenuhnya aku bisa bernafas dengan tenang, sosok yang baru datang tersebut kembali keluar dari ruang redaksi. Begitu berdiri dekat pintu, dia lalu melihat kepada ku, sambil berkata:

“Tolong kamu mintakan sebungkus rokok di warung seberang jalan itu, katakan dari pak Usman…!” katanya cepat sambil menyebutkan nama sebuah merek rokok. Selesai berbicara kepadaku, dia kembali masuk ke ruang redaksi.

Mendapat perintah seperti itu, rasa takut yang tadi menyelimuti tubuhku serentak hilang dan berganti dengan semangat menggebu karena mendapat kepercayaan dari orang yang belum pernah aku kenal yang sebelumnya malah aku takuti, gara-gara aku mengintip ke ruang redaksi.

Aku segera berjalan cepat menuju warung kopi yang ada di seberang jalan yang ditunjukkan pak Usman tadi. Begitu rokok ada di tanganku, dengan langkah yang semakin cepat aku berjalan menuju ruang redaksi.

Karena merasa sudah punya alasan untuk masuk, tanpa banyak tanya lagi aku langsung masuk ruang redaksi dan berjalan menuju meja dimana pak Usman itu duduk dan memberikan rokoknya. Setelah mendapatkan ucapan terimakasih, aku langsung berbalik dan disaat itu baru aku melihat orang ketiga yang tadi dipanggil papa oleh pak Usman.

Aku terus berjalan menuju pintu keluar, tapi begitu sampai di ruang tunggu aku bukannya terus ke luar, tapi belok kanan masuk ruang tunggu. Tumpukan koran di atas meja ruang tunggu itu seakan melambai-lambai memanggilku, untuk melepaskan dahagaku atas bahan bacaan yang sudah cukup lama aku rasakan.

Bersambung

Penemuan Tak Terduga

Padang, Sabtu, 31 Oktober 1970

Setelah beberapa hari tinggal bersama kakak di Kota Padang. Hingga hari Sabtu itu aku keluar dari rumah tempat tinggal keluarga kakak dekat Pasar Gadang, berjalan menyusuri jalan Pasar Mudik, lurus melintasi rel kereta api dan melewati jalan Pasar Hilir, terus ke jalan Pasar Batipuh, tak lama kemudian belok kiri arah jalan Batang Arau.

Hari itu aku bertekad untuk mencari tahu, dimana letaknya kantor surat kabar Haluan, Padang. Walau sebenarnya aku sendiri tak yakin akan menemukannya. Karena kota Padang ini cukup besar dibanding kota Payakumbuh maupun kota Solok yang baru saja aku tinggalkan beberapa hari lalu.

Sebagai anak kampung yang pemalu, aku berjalan dengan diam sepanjang jalan Batang Arau menuju Muaro, dimana Batang Arau ini bermuara. Sambil berjalan aku juga melihat keramaian beraneka ragam perahu maupun tongkang serta kapal yang bolak-balik melintas melayari sungai Batang Arau yang cukup lebar ini. Melihat semua itu, ingatanku kembali melayang ke Sungai Siak, Pekanbaru, dimana aku pernah  bermain melihat keramaian perahu maupun kapal yang bersandar di dermaga yang ada di tepi sungai Siak tersebut diawal tahun 60an.

Setelah sampai di Muaro, aku belok ke kanan. Menyusuri jalan Muara, Pantai Padang. Lepas dari jalan Muara, aku lanjut menyusuru jalan Samudera. Tapi aku tak sepenuhnya berjalan di jalan Samudera, karena aku lebih banyak berjalan di atas dam yang membatasi  jalan Samudera dengan pantai.  Inilah pertama kali aku benar-benar melihat laut yang begitu luas dengan ombak yang bergulung bersusulan, lalu memecah di pantai. Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapakan kekaguman akan laut yang maha luas itu. Dalam kekaguman begitu besarnya kekuasaan Tuhan dengan ciptaanNya, aku terus berjalan di atas dam yang memagari pantai agar air laut tidak sampai ke daratan.

Sambil berjalan menikmati pemandangan laut, aku berjalan terus. Sesekali berhenti dekat perahu, melihat  nelayan yang sedang membenahi jaring ikannya, atau membetulkan perahu yang mungkin ada kerusakan.

Aku tidak tahu sudah berapa kilo pantai Padang itu aku telusuri, petualangan yang baru aku alami itu membuat aku tak pernah merasa bosan atau capek, walau aku berjalan begitu jauh sejak dari Pasar Mudik.

Dalam perjalanan menyusuri jalan Samudera yang membujur sepanjang pantai Padang tersebut aku juga tak lupa melihat ke arah berlawanan. Melihat situasi yang ada di seberang pantai, hingga aku melewati jalan Diponegoro yang berujung di Jalan Samudera atau Pantai Padang dan lapangan yang cukup luas yang membentang antara jalan Diponegoro dan Pantai, hingga lapangan tersebutpun disebut sebagai Lapangan Diponegoro.

Berikutnya jalan Hang Tuah yang juga berujung di pinggir pantai. Seakan lupa akan panas yang mulai menyengat tubuh, aku melanjutkan berjalan menyisiri pantai. Dengan perasaan yang sebenarnya gamang atau takut, aku mencoba berjalan di pantai, mencoba memberanikan diri sebagaimana anak-anak yang berlarian sambil bermain dengan ombak yang menghempas di pantai. Tapi aku belum seberani mereka, mendekati ombak menghempas di pantai saja aku tidak berani, takut akan terbawa hanyut oleh ombak saat dia kembali kelaut.

Jalan berikutnya yang aku temui berujung di pantai adalah jalan Ujung Belakang Olo. Kenikmatan menyusuri pantai Padang itu membuat aku belum ingin untuk kembali pulang. Pantai itu seakan mengajak aku untuk berjalan terus.

Mataku seakan tak percaya, saat aku melihat papan nama jalan Damar I. Aku segera teringat harian Haluan yang beralamat di Jalan Damar, Padang. Apakah jalan Damar I ini tembus ke jalan Damar dimana kantor Redaksi Harian Haluan berada?

Rasa ingin tahu, ditambah keinginan yang sudah tertanam sejak pertama kali aku membaca Harian Haluan di Payakumbuh tahun 1965, membuat rasa penasaran itu semakin menggejolak. Aku seakan-akan hendak menemui sesuatu yang sudah aku dambakan lima tahun lebih!

Bila sebelumnya saat menyusuri Pantai Padang aku berjalan santai, kini aku berjalan lebih cepat. Dadaku mulai bergemuruh. Batapa rasa ingin tahu aku bagaimana orang mencetak surat kabar yang begitu lebar bisa aku saksikan. Rasa laparku untuk membaca surat kabar tersebut juga terasa begitu membara. Karena lebih dari dua bulan terakhir sejak aku kerja di Solok, aku tak pernah lagi membaca surat kabar Haluan itu.

Rasa penasaranku sedikit meredup, saat melihat sebuah gedung beringkat tinggi yang pertama aku lihat adalah nama sebuah hotel, yaitu hotel Aldilla yang berada di sebelah kiri jalan Damar I. Tadinya aku mengira itulah kantor redaksi Harian Haluan.

Walau dengan keyakinan yang agak sedikit mengendor dan jalanku tak lagi cepat, aku tetap meneruskan perjalanan hingga aku sampai di jalan raya yang membentang di hadapanku. Dari pinggir jalan yang membentang itu aku melihat rumah-rumah yang ada di seberang jalan, nyaliku semakin ciut dan rasa kecewa pelan-pelan mulai menyerap ke hatiku. Begitu juga saat aku melihat ke deretan rumah yang ada di sebelah kiri, semuanya rumah biasa, tak satupun yang menyerupai kantor.

Dengan langkah yang mulai lunglai aku berjalan dan belok ke kanan. Saat itulah mataku terbelalak, melihat merek Haluan yang terpampang besar di bagian atas gedung. Semangat yang tadi mulai runtuh, akhirnya bangkit kembali. Ada tiga merek yang terlihat di gedung tersebut, walau agak kecil. Paling ujung terlihat nama Aman Makmur sebuah surat kabar harian juga yang terbit di Padang, lalu di tengah Sri Dharma merek percetakan, dan yang paling dekat dengan merek yang paling besar di bagian atas gedung adalah Harian Haluan yang menempati 3 ruangan kantor di bawah mereknya.

Dengan perasaan campur aduk dan dada yang berdebar kencang, aku berjalan menuju ruangan paling pinggir di sebelah kanan, satu-satunya ruangan kantor yang pintunya terbuka dengan tulisan REDAKSI di bagian atas kusen pintunya.

Bersambung.

Hasil Karya Bertahun-tahun Hilang Begitu Saja

1985–1987

Begitu saya diterima bekerja di sebuah perusahaan pengeboran minyak bumi yang berkantor di gedung Ratu Plaza, Jakarta. Saya menempati ruang kerja berukuran 3×3 meter bersama seorang teman yang juga berprofesi sebagai fotografer.

Selain meja kerja dan perlengkapan kantor lainnya, saya juga diberi sebuah lemari arsip yang semuanya terbuat dari besi, untuk menyimpan arsip foto dan film hasil karya saya dan teman pada setiap acara kantor dan juga kegiatan operasional di lapangan minyak perusahaan yang berada di pulau Sumatera yaitu Bangkinang, Lirik, Pendopo, Jene, Palembang dan Tabuan.

Karena tinggal di rumah kontrakan sederhana yang juga rawan banjir di daerah Kalideres, akhirnya saya juga menyimpan arsip foto-foto pribadi di lemari arsip kantor tersebut.

Pertengahan 1986, kantor melakukan pembersihan. Karena ruangan kantor sudah terlalu padat dengan berbagai file, buku, buletin maupun majalah. Maka pihak manajemen memerintahkan agar semua file yang masih berupa kertas itu disimpan di gudang perusahaan yang berada di jalan Senopati yang berjarak sekitar 300 meter dari gedung Ratu Plaza.

Diantara arsip-arsip yang disuruh pindahkan tersebut, adalah juga arsip-arsip foto maupun film negatif maupun film positif atau slide. Sehingga lemari arsip di ruangan saya tersebut nyaris kosong, kecuali foto-foto terbaru yang masih dibutuhkan untuk penerbitan buletin bulanan maupun majalah perusahaan yang terbit 2 kali setahun.

Karena berfikir kalau arsip-arsip tersebut masih bisa diambil saat dibutuhkan, saya juga mengikutkan arsip-arsip foto dan film negatif pribadi saya dimasukkan ke dalam kotak karton, bergabung dengan arsip kantor dan ikut digotong ke gudang Senopati.

Saat kontrak saya habis tahun 1987, saya harus mengemasi semua barang-barang pribadi yang juga ada di kantor. Saat saya datang ke gudang di Senopati, saya kaget, karena puluhan karton-karton yang berisi arsip-arsip lama dari berbagai departemen perusahaan tersebut, bertumpuk bercampur aduk, sehingga sulit untuk diperiksa satu persatu karena ukurannya yang sebesar karton rokok Gudang Garam. Bagaimana mau memeriksa dan memindahkannya. Jangankan di angkat, digeser saja susah karena beratnya tumpukan kertas yang berada di dalam karton tersebut.

Dengan perasaan penuh penyesalan saya meninggalkan gudang tersebut. Hilanglah hasil karya selama 2 tahun lebih. Hasil dari berbagai pemotretan acara maupun traveling saya ke beberapa daerah di Sumatera maupun Jawa. Penyesalan yang harus saya rasakan seumur hidup, karena begitu banyak hasil karya saya yang jadi korban dan tidak bisa saya selamatkan.

Nenek Meninggal di Hadapanku

Setelah empat orang kakakku pergi merantau, tinggallah aku di kampung bersama dengan Inan kakak tertua, bersama nenek yang semenjak umi pergi dan tak kembali, selalu sakit-sakitan dan tak pernah bangun dari tempat tidur.

Semenjak etek dan keluarganya membangun rumah baru di sudut rumah gadang yang lebih dekat ke jalan, walaupun belum pindah kesana, tapi etek bersama anaknya Fitrizal sehari-hari berada disana. Memasak sekaligus mengawasi tukang yang bekerja, menyediakan bila ada bahan yang dibutuhkan. Mereka baru kembali ke rumah gadang bila hari telah sore menjelang magrib, saat tukang telah pulang kerumahnya.

Sejak itu aku tinggal sendirian di rumah gadang, bermain sendiri tanpa ada yang menemani, menunggui nenek yang lagi sakit-sakitan. Kakakku melarang aku bermain ke luar rumah, karena harus selalu menjagai nenek, kalau dia membutuhkan apa-apa. Sementara kakakku sibuk dengan bekerja ke kebun di sekeliling rumah atau ke ladang, pergi mengais rejeki untuk menyambung hidup kami bertiga.

Di umurku yang enam tahun aku tidak tahu apa penyakit nenekku, keluarga kami hanya mengatakan bahwa beliau sakit tua, karena umurnya yang memang sudah lanjut. Tapi aku merasakan penyakit nenek semakin parah semenjak umi tak lagi ada di samping kami.

Nenek sering meracau semenjak kejadian itu, sehingga sering terlontar di mulut keluarga kami nenek sudah tere. Bila datang kumatnya, nenek selalu menyebut-nyebut nama ibuku, dan menyumpah serapahi orang-orang yang memfitnah dan yang menyebabkan kematiannya. Namun bila kesadarannnya pulih, nenek tak ada bedanya dengan nenek-nenek yang lain.

Semakin hari sakit nenek semakin parah, segalanya sudah di tempat tidur. Tidur nenek juga sudah pindah ke luar kamar. Di depan kamar di tengah ruangan rumah gadang. Itulah sebabnya aku ditugaskan oleh kakakku untuk selalu mengawasi dan menemani nenek, sehingga aku tak bisa lagi bermain di luar rumah, walau hanya sekadar di halaman rumah gadang, apalagi bermain bersama Fitrizal di rumah barunya.

Di hari meninggalnya nenek, seperti biasa aku sendirian di rumah. Etek bersama anaknya Fitrizal sudah pergi kerumah barunya. Kakakkupun sudah turun ke bawah, memasak di dapur yang berada di belakang rumah gadang.

Kondisi nenek yang sudah bertahun sakit dan tak pernah berobat karena keluargaku tak punya biaya, dan juga sudah berbulan-bulan tak beranjak dari tempat tidur mencapai puncaknya. Rupanya Tuhan mendengarkan do’a kami, agar nenek tidak menderita lebih lama lagi.

Aku sedang bermain di rumah gadang ketika kakakku memanggil, lalu kemudian menyuruh aku membangunkan nenek untuk makan pagi. Nenek memang sudah tidak bisa makan sendiri, beliau makan disuapi oleh kakakku. Tapi aku selalu disuruh oleh kakakku untuk membangunkan nenek bila saatnya makan telah tiba. Sehingga ketika dia sudah naik ke rumah gadang, kakakku tinggal menyuapinya.

Pertama aku membangunkannya, nenek menjawab dengan mengeluarkan suara: “uuugghhhh…!”

Setelah itu aku lalu bermain lagi, tidak jauh dari tempat nenek tidur.

“Lah jago nenek, Mi?” kedengaran suara kakakku bertanya sambil berteriak dari dapur.

Aku lalu melihat kearah nenek, rupanya nenek belum bergerak, masih seperti tadi, tidur dalam posisi miring kekiri menghadap dinding dengan posisi kaki di tekuk. Biasanya nenek kalau sudah bangun dia akan tidur menelentang, agar kakakku mudah menyuapinya.

“Nek, nenek jagolah makan lai…!” aku kembali membangunkan nenek sambil menggoyangkan badannya.

Kembali terdengar lenguhanpendek: “uugh…!” akupun menyahutinya: “ Jagolah makan lai…!”

Tak ada suara yang keluar dan tak ada lagi jawaban. Aku coba terus menggoyang badan nenek di pundaknya, diam dan membisu…!.

Nenek telah pergi menghadap Tuhannya pada lenguhannya yang terakhir dalam ketidak tahuan dan ke tidak mengertianku, bocah kecil yang belum mengerti dan belum tahu apa-apa. Di mataku hanya terlihat sosok tua yang telah letih menanggung beban kehidupan, kini sosok itu terbujur kaku dan pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa.

Aku lalu pergi ke pintu belakang rumah gadang, satu-satunya jalan untuk keluar masuk kadalam rumah. Dibelakang rumah gadang, di dapur aku melihat kakakku sedang memasak.

“Kak aniang sen liau di imbau, indak ado manggarik lai….” kataku memberitahu kakakku.

Kak Inan segera naik ke rumah gadang, lalu mencoba lagi untuk membangunkan nenek, hasilnya: nihil…! Nenek telah pergi untuk selamanya untuk menemui Tuhannya, memenuhi panggilanNya. Yang di sampaikan melalui malaikat Izrail. Demikian sering di ceritakan ibuku ketika beliau masih hidup dan berkumpul di tengah-tengah kami anak-anaknya.

Dalam situasi yang belum sepenuhnya di yakininya. Kakakku yang baru berusia belasan tahun itupun lalu pergi memberitahu etekku di rumah barunya, kemudian amai Uda, yang rumahnya berada di seberang jalan rumah kami. Sementara aku dalam ketidak tahuan seorang anak berumur 6 tahun, menunggu di rumah gadang, duduk di samping nenek yang telah terbujur kaku.

Akhirnya berita itu menyebar di kampung kami, Ladang Darek. Beduk di suraupun telah di bunyikan, dengan pukulan nada khusus membawa berita kematian.

Satu persatu keluarga dekat berdatangan, diikuti oleh orang-orang kampung lainnya. Aku yang tadinya duduk menunggui nenek, disuruh bermain di halaman. Hal yang tak pernah kunikmati semenjak nenek sakit dan tak beranjak dari tempat tidur. Tapi aku juga tak bisa bermain, karena suasana hatiku tidak di sana.

Setiap tamu yang datang selalu melihat kepadaku, menyapaku dan diakhiri dengan mengelus kepalaku. Karena kata mereka, mengelus kepala anak yatim adalah sunnah Nabi Muhammad, dan mereka melakukan itu padaku.

Baru kali ini pulalah aku melihat rumah gadang penuh sesak, sehingga ada yang hanya berdiri di halaman. Obrolan yang berkembang pun tak jauh dari cerita tentang nenek, umi, kakak-kakakku yang bercerai berai bagai anak ayam kehilangan induk, dan si kecil yang kini tak lagi punya siapa-siapa.

Banyaknya keluarga yang membantu, membuat proses penyelenggaraan pengurusan jenazah nenek hingga penguburan tak berlangsung lama. Nenek dimandikan dan dishalatkan di rumah gadang. Dikuburkan di pekuburan keluarga yang tak begitu jauh dari rumah. Sebelum asyar semua selesai, dan para sanak keluargapun kembali ke rumahnya masing-masing.

Ketika malam menjelang, rumah gadang kembali sepi. Tinggal kami berlima, keluarga etekku yang tidur di kamarnya bertiga dan aku dengan kakakku yang tidur di tengah rumah gadang, karena sejak nenek sakit, kami tak pernah lagi tidur di kamar..

Disamping nenek yang sudah tidak ada lagi bersama kami, hanya satu yang membedakan malam ini dengan malam-malam sebelumnya. Aroma wanginya kembang bunga rampai dan air mawar yang menyebar di sekelilng kami. Pengantar tidur dengan mata yang sulit terpejam…..

Artikel ini juga pernah dimuat di Kompasiana

https://www.kompasiana.com/diankelana/54ff1697a33311274450f8cf/nenek-meninggal-di-hadapanku