Bila teringat kisah ini, saya jadi malu sendiri, karena memang sangat memalukan, menyebalkan atau mungkin juga menyedihkan.
Saya masuk Panti Asuhan sejak awal masuk Sekolah Dasar tahun 1964 di Bunian, yang terletak di tengah kota Payakumbuh, Sumatera Barat.
Masuk tahun ajaran baru 1965, kami pindah ke asrama baru yang berada di pinggir kota Payakumbuh, di tengah kampung Padang Tiakar yang terletak 1,5 kilometer dari asrama sebelumnya.
Di Panti Asuhan yang berada dibawah pengelolaan Aisyiyah, organisasi ibu-ibu yang berada di lingkungan Muhammadiyah, yang berisi lebih dari 50 anak asuh itu, saya bertemu dengan salah seorang anak asuh wanita yang usianya beberapa tahun diatas saya, sebut saja namanya Ema yang sehari-hari saya panggil uni Ema.
Saya merasa dekat dengan uni Ema ini karena berasal dari kampung yang sama dengan saya, yang jauhnya 30 kilometer dari kota Payakumbuh.
Pada suatu ketika saya ingin sekali membeli sesuatu, yang saat ini saya sudah lupa barang apa yang saya ingin beli tersebut.
Karena tidak punya uang sebagaimana keseharian kami yang memang tak pernah punya uang jajan, saya lalu memintanya kepada uni Ema. Awalnya dia bilang tidak punya, tapi karena saya merengek sambil menangis, dia lalu memberi saya uang kertas merah 25 sen seperti pada foto yang saya tampilkan di atas.
Karena tidak cukup untuk membeli barang yang saya inginkan, saya lalu meminta lagi tambahannya dengan menangis lebih keras lagi sambil duduk menghantam-hantamkan kaki di lantai teras depan kamar asrama yang berbaris memanjang seperti rumah bedeng tersebut.
Karena memang mungkin dia tidak punya uang lagi dia tetap mengatakan tidak punya, hal itu membuat saya kesal lalu merobek-robek uang kertas 25 sen yang ada di tangan saya hingga menjadi potongan kertas kecil sehingga sulit untuk dikenali selain dari warnanya yang merah.
Karena dibiarkan lama menangis dan tidak dihiraukan, akhirnya tangisan saya berhenti sendiri, tinggal hanya isakan disertai airmata yang pelan-pelan juga berhenti mengalir.
Setelah terdiam sekian lama, pelan-pelan kesadaran saya timbul. Saya sadar kalau uni Ema itu bukanlah kakak kandung saya, kami adalah teman senasib sebagai penghuni panti asuhan ini. Teringat akan hal itu, datanglah penyesalan dalam hati yang diiringi datangnya bayangan ibu dan ayah yang telah tiada. Airmata saya kembali mengalir deras mengiringi isak tangis mengenang nasib tiada ayah dan ibu serta 5 saudara yang keberadaannya entah dimana dibawa nasibnya masing-masing.
Bila tadi tangis saya adalah tangis kemarahan karena keinginan yang tak terpenuhi, kini tangis saya adalah tangis kesedihan yang sulit untuk diungkapkan karena diiringi dengan penderitaan dan pengalaman hidup yang dijalani sejak di tinggal ibu saat usia 4 tahun, dan ditinggal ayah saat masih dalam kandungan ibu. Penyesalan susulan adalah melihat sobekan uang yang sudah tidak lagi berbentuk berserakan di sekitar saya.
Dibawah tatapan mata anak asuh lain yang melihat saya dengan tatapan dan perasaan yang tidak saya ketahui, saya lalu berjalan ke kamar, lalu tidur di kasur sambil terisak, hingga akhirnya tertidur.
Bila teringat kisah ini saya merasa berdosa terhadap uni Ema, semoga dia memaafkan adiknya yang tidak tahu diri ini.
O2 Plus Urban Pop, demikian Sinar Mas Land, pengembang papan atas Indonesia memberi nama produk baru mereka yang berlokasi di Grand Wisata Residensial, di kota yang berada di Timur Jakarta, Bekasi.
Peluncuran yang dilakukan kemarin tersebut yang ditayangkan secara langsung melalui IG Live https://www.instagram.com/grandwisata.sinarmasland/live/ sayangnya tidak bisa dinikmati secara utuh, karena adanya gangguan suara yang hilang timbul, karena menggunakan direct sound HP yang melakukan siaran langsung. Mudah-mudahan saja para undangan khusus yang menikmati siaran ini melalui zoom bisa menikmatinya dengan lebih baik.
Sebagaimana tema yang dipilih, produk baru ini memang didesain dengan memperhitungkan gaya dan selera para millenial. Disamping Anda hanya tinggal angkat koper, karena semua sudah tersedia, furnishing lengkap, ruang kerja, kamar tidur, ruang makan maupun dapur, semua sudah tinggal pakai.
Begitu lengkapnya desain dan perencanaan bangunannya, pemilik tak perlu lagi berpikir untuk melakukan renovasi sebagaimana yang sering dilakukan oleh pemilik di komplek-komplek perumahan lainnya. Disini pemilik tinggal menikmati semua fasilitas yang sudah lengkap itu yang dimiliki dengan hasil usaha maupun bekerja selama ini.
Sebagai sebuah hunian yang perencanaan dan pembangunannya sudah dipikirkan sedemikain matang, banyak hal yang bisa dinikmati disini. Sistim keamanan dengan Double Security Gate, kepadatan penduduk yang rendah, infrastruktur yang baik, bersih, lingkungan sekitarnya yang alami, keuntungan dalam bentuk uang dalam investasi dengan harga yang semakin meningkat setiap tahunnya, bebas banjir dan satu lagi, Grand Wisata ini sudah siap menjadi Kotapraja Mandiri.
Dibangun di lokasi eksklusif yang memang sudah menjadi komunitas kalangan atas, semua fasilitas sudah sangat lengkap, begitu juga dengan infrastruktur lingkungan sekitarnya. Jalanan yang lebar, mall, bahkan hanya berjarak 200 meter dari Living World. Begitu juga hanya dibutuhkan waktu 15 menit untuk menuju Jakarta.
Cicilan yang hanya 5 jutaan, tentu tidak akan terasa berat bagi para millenial yang sudah sukses menduduki posisi strategis di perusahaan tempat mereka bekerja tersebut.
Sebagaimana diketahui Sinar Mas Land Limited bergerak dalam bisnis properti melalui operasinya di Indonesia, Cina, Malaysia dan Singapura. Sinar Mas Land dengan proyek dalam pengembangan kota, perkampungan, perumahan, komersial, ritel, kawasan industri, dan properti perhotelan, termasuk layanan terkait properti, tidak diragukan lagi sebagai perusahaan properti terbesar dan paling beragam di Indonesia
Dengan area seluas 1.100 hektar, Grand Wisata Bekasi adalah konsep Live, Play & Work Township. Yang menciptakan sinergi antara lingkungan perumahan dan pusat bisnis komersial yang nyaman dan indah.
Berada di dua sisi jalan toll, masing-masing Tol Jakarta–Cikampek di utara dan Jakarta Outer Ring Road atau JORR di timur, serta jalur non tol melalui Mustika Jaya di barat, menjadikan penghuni Grand Wisata ini mempunya jalur alternatif untuk keluar dari komplek perumahan mereka, sesuai kemana daerah yang mereka tuju.
Bukan hanya itu, tak lama lagi para penghuni yang akan ke Bandung, akan bisa menikmati jalur kereta cepat melalui stasiun Halim yang jaraknya hanya 15 menit dari Grand Wisata. Atau bagi yang ingin menikmati kereta LRT menuju Jakarta, malah hanya 3 menit dari Grand Wisata.
Bagi Anda yang ingin berbelanja, 20 mall di sekeliling Grand Wisata ini sebentar lagi akan hadir di wilayah ini, melengkapi beberapa yang sudah ada sekarang ini.
Ingin melakukan wisata bersama keluarga menikmati berbagai arena wisata air, mulai dari kolam renang maupun tempat seluncuran dengan aneka bentuk dan tantangan yang mengasyikkan, datanglah ke Go Wet Water Park, all out, semua tersedia disini.
Masih penasaran? Silakan langsung datang kesana, Customer Service Grand Wisata yang professional akan melayani kedatangan Anda. Atau telpon saja ke nomor 021 2908 8000.
Sebuah kejadian saat saya duduk di kelas 4 SD tahun 1967. Saya lupa, apakah kejadian ini saat kami masuk sekolah lagi setelah libur habis menerima rapor pertama atau kedua.
Saat masuk sekolah hari pertama, kami belum sepenuhnya belajar, karena sekolah begitu kotor oleh debu maupun daun kayu yang ikut masuk ke dalam kelas, laba-laba pun tidak mau ketinggalan ikut berpartisipasi membuat sarang dengan jaringnya yang bergetah, sehingga mudah melekat dimana saja ketika tersenggol, sehingga tak jarang saya dan teman-teman rambutnya seperti beruban kena jaring laba-laba tersebut.
Selain itu juga ada sampah kotoran kucing dan tikus serta musang. Sekolah kami memang dikelilingi oleh kebun milik orang kampung yang tinggal dekat sekolah.
Habis apel pagi, kami para murid disuruh pulang lagi oleh kepala sekolah, dengan satu perintah semua murid besoknya harus datang ke sekolah membawa peralatan kebersihan, seperti; sapu lidi, sapu ijuk, cangkul, parang, sabit atau apapun yang kami punyai di rumah masing-masing. Karena besok kami diperintahkan gotong royong membersihkan sekolah maupun pekarangannya yang cukup luas, hampir setengah lapangan bola.
Sampai di rumah saya lalu mencari daun kelapa kering di kebun depan rumah, yang jatuh dari pohonnya karena sudah tua. Setelah ketemu lalu memotong lidinya di pangkal daun dan mengumpulkannya. Setelah terkumpul cukup banyak saya lalu membawa daun kelapa tersebut ke dekat tangga rumah. sambil duduk di tangga, saya lalu memisahkan lidi dari daun kelapa kering tersebut.
Setelah lidi terkumpul cukup banyak, saya lalu mengikatnya dengan tali yang terbuat dari pelepah pisang yang sudah mati dan kering karena buahnya sudah dipetik. Saya sengaja mengikatnya dengan tali pelepah pisang tersebut karena tidak punya tali yang terbuat dari ijuk pohon enau yang dijalin. Untuk sementara ikatan tersebut cukuplah, karena saya sudah berencana akan membuat pengikat sapu tersebut dari rotan yang telah dibelah tipis.
Rotan yang sudah dibelah tipis ini cukup banyak di kampung saya karena kampung saya terkenal dengan tukang perabot yang ahli membuat peralatan rumah tangga seperti lemari, meja, kursi makan maupun kursi tamu yang di kampung kami disebut Sice. Rotan tipis ini dianyam untuk jadi alas duduk maupun sandaran kursi Sice tersebut.
Selesai mengumpulkan dan mengikat lidi, saya lalu pergi ke rumah kakak sepupu saya yang mempunyai bengkel perabot dan mempunyai beberapa orang pekerja dengan keahlian masing-masing, seperti membuat kursi, lemari, meja dan sebagainya. Begitu sampai di rumahnya saya lalu meminta satu rotan yang sudah dibelah tipis tersebut. Ketika ditanyakan untuk apa bagi saya rotan tersebut, saya lalu mengatakannya “untuk simpai.” Simpai adalah nama pengikat sapu lidi yang terbuat dari rotan. Kalau sudah jadi bentuknya seperti jalinan yang terdapat pada bola takraw, tapi rajutannya lebih rapat dan bersilang, bukan seperti bola takraw yang lurus.
Saya lalu diberi satu rotan yang panjangnya sekitar 6 meter, lalu membawanya pulang. Karena sudah capek membenahi lidi, saya tidak langsung mengerjakan menjalin rotan tersebut. Saya lalu pergi main ke Simpang Labuah, simpang empat yang letaknya persis di tengah kampung, yang menjadi pusat keramaian di kampung saya.
Pagi besoknya saya berangkat ke sekolah berbarengan dengan adik sepupu saya dan juga teman-teman lainnya. Dengan mengapit sapu di ketiak tangan kiri, di sepanjang jalan ke sekolah yang jaraknya 1 km dari rumah saya tersebut, kedua tangan saya asyik menjalin “Simpai” untuk pengikat sapu lidi agar kuat dan tahan lama. Karena belum selesai hingga sampai di sekolah, saya meneruskan pekerjaan saya di dalam kelas, sambil menunggu lonceng berbunyi dan kerja bakti gotong royong dimulai.
Karena cukup banyak teman-teman yang melihat saya menjalin rotan tersebut, rupanya menarik perhatian kepala sekolah yang juga sudah datang. Kepala sekolah lalu masuk ke kelas kami. Melihat kepala sekolah masuk teman-teman yang tadinya berkerubung mulai menghindar dan membuka jalan buat kepala sekolah mendekati saya.
“Membuat apa kamu?” Kepala sekolah langsung bertanya ketika melihat apa yang saya kerjakan.
“Membuat simpai untuk sapu lidi, Pak…”
“Bisa kamu membuatnya?”
“Bisa, Pak…”
“Masih ada rotannya, coba kamu ajari saya…”
Karena pekerjaan saya sudah hampir selesai dan sisa rotan masih cukup panjang, saya lalu memotong rotan dengan parang yang dibawa teman sambil memperkirakan kecukupannya untuk saya. Untuk sementara sisa pekerjaan saya ditunda dulu, lalu memperagakan bagaimana awal jalinan pembuatan simpai tersebut, lalu saya serahkan melanjutkannya kepada bapak Kepala Sekolah. Begitu jalinan rotan tersebut sudah terbentuk, Kepala sekolah lalu mengatakan:
“Sekarang bapak yang jadi murid kamu…” yang disambut ketawa oleh teman-teman sehingga kelas menjadi ramai. Karena saya orangnya pemalu, saya hanya tersenyum simpul sambil tertunduk dan perasaan serba salah karena mendapat pujian dari kepala sekolah. Karena waktu sudah pukul 8, kepala sekolah lalu menyuruh salah satu teman memukul bel yang ada di depan kantor guru, gotong royong membersihkan sekolah pun dimulai.
Seorang ayah tak kan pernah berhenti bekerja, walau semua kebutuhan telah dicukupi oleh anak-anaknya yang telah berhasil “jadi orang”
Bukan karena terpaksa, tapi karena pasion atau juga karena rasa tanggung jawab yang melekat dalam dirinya sepanjang hayat. Diam di rumah tanpa melakukan apa-apa karena semua telah tercukupi, adalah siksaan bagi sang ayah. Dia akan merasa dipenjara, terkungkung, walau pada kenyataan dirinya bebas tak ada yang mengikat, tapi karena mengikuti perintah sang anak yang memenjarakan dirinya untuk tetap berada di rumah.
Kebahagiaan baginya adalah bekerja, bekerja dan bekerja. Mungkin apa yang dikerjakannya saat ini tidak lagi sekeras dan seberat saat anak-anak masih sekolah dan butuh biaya yang besar.
Bisa saja pekerjaan yang dilakukannya hanya sekadar merapikan tanaman di kebun, atau membersihkan halaman rumah, namun itulah sorga bagi dirinya.
Saya punya teman yang sudah cukup berhasil di rantau, sehingga dia bisa mendatangkan kedua orang tuanya dan mengajak keduanya tinggal bersama di rumahnya yang cukup besar dan lega berikut kamar untuk kedua orang tua.
Tapi apa yang terjadi? kedua orang tuanya hanya betah seminggu di rumah besar sang anak. Kedua orang tua sudah mendesak untuk segera kembali ke kampung halamannya. Kenapa? ya, seperti yang saya sebutkan di atas tadi. Mereka tidak betah dan merasa terpenjara di rumah besar sang anak. Mereka merindukan kampung halamannya, hidup sederhana sambil melaksanakan tugas rutinnya setiap hari, mengisi hari tua yang mungkin tidak lama lagi mereka nikmati.
Jadi, jangan pernah memaksakan kehendak terhadap kedua orang tua, walaupun Anda sudah sukses seperti apapun. Mereka punya dunia sendiri, yang mungkin nanti juga Anda rasakan saat usia telah beranjak tua. Cukup Anda memberikan semua kebutuhan mereka, tapi jangan paksa mereka untuk melakukan yang Anda inginkan, hanya karena ingin membahagiakan mereka. Karena bahagia menurut kita, berbeda jauh dengan bahagia menurut mereka.
Jalan Ahmad Yani yang membelah dua pasar Payakumbuh. Di sinilah perjalanan 1,5 km itu bermuara (Dokpri BDRM2010)
Saat menerima rapor kenaikan kelas 1 SD tahun 1964, saya mendapati rapor saya kebakaran, nyaris terbakar habis! Hanya satu yang berwarna biru, itu pun bukan salah satu dari sekian mata pelajaran yang diajarkan guru di depan kelas, tetapi nilai kehadiran saya di sekolah yang di rapor ditulis sebagai Kerajinan. Ya, iyalah, bagaimana mau mangkir kalau Panti Asuhan tempat saya tinggal satu komplek dengan gedung sekolah. Halaman panti adalah halaman sekolah saya juga.
Mengisi libur setelah terima rapor hingga memasuki tahun ajaran baru saya merasa tidak nyaman, bagaimana tidak? Saya membayangkan bagaimana teman yang tadinya duduk bareng di kelas 1, sebentar lagi akan duduk di kelas 2 sementara saya harus tetap duduk di kelas 1, berdampingan dengan anak-anak baru masuk kelas 1 SD, yang tadinya adalah anak TK yang sekolahnya juga berdampingan dengan SD tempat saya belajar.
Rupanya Allah mendengarkan jeritan hati saya, sebuah peristiwa mengubah segalanya, yang kemudian membuat saya bersyukur. Peristiwa itu adalah, Panti Asuhan Muhammadiyah, Bunian, Payakumbuh, tempat saya tinggal dan diasuh itu berada di tengah kota. Menyempil di dua ruangan yang sebenarnya dibangun untuk ruang kelas sekolah di Komplek Perguruan Muhammadiyah itu.
Pemindahan lokasi Panti Asuhan ini disebabkan ada Panti Asuhan yang tadinya dikelola oleh Dinas Sosial, yang berada di Nagari atau desa Padang Tiakar, pinggir kota Payakumbuh, yang berjarak sekitar satu setengah kilometer dari Bunian, panti asuhan yang saya tempati saat itu, diserahkan pengelolaannya kepada Muhammadiyah. Keterlibatan Dinas Sosial selanjutnya hanya pada pemberian subsidi, tidak lagi pada pengelolaan secara langsung.
Perpindahan lokasi Panti Asuhan tersebut tentu saja membuat saya begitu senang. Karena saya sudah bertekat tidak akan kembali duduk di kelas 1, saya ingin naik ke kelas 2. Keinginan saya tersebut akhirnya terpenuhi, karena saya sudah bertekat tidak akan bersekolah bila tetap duduk di kelas 1. Saya tidak tahu bagaimana pembicaraan antara pimpinan Panti Asuhan dengan pihak sekolah untuk meloloskan saya untuk duduk di kelas 2. Bagi saya yang penting saat itu adalah saya jadi murid kelas 2, selesai.
Pindah asrama ke Padang Tiakar yang jaraknya 1,5 kilometer dari asrama yang lama, tidak membuat saya merasa terhalang untuk bermain ke pasar Payakumbuh. Bila sebelumnya antara panti asuhan dengan pasar cukup dekat karena hanya dibatasi oleh kantor Bupati Kabupaten 50 Kota. Kini saya harus berjalan di bawah panasnya terik matahari dan panasnya aspal jalan raya tanpa alas kaki, karena memang tidak punya. Bila sebelumnya dari panti ke pasar hanya butuh waktu tak sampai 10 menit, maka kini saya harus berjalan dari panti ke pasar hampir 1 jam.
Kenapa begitu lama untuk jalan yang hanya 1,5 kilometer itu? Inilah inti dari kisah ini.
Pulang sekolah saya langsung ke panti. Sampai di panti hal pertama yang saya lakukan adalah shalat zuhur, kemudian berlanjut dengan makan siang. Selesai makan siang baru saya berangkat menuju pasar. Perjalanan melewati jalan Ahmad Yani sejauh 1,5 kilometer itu saya tempuh dengan berjalan kaki, karena waktu itu belum ada angkot untuk menuju pasar, yang ada Cuma bendi atau andong, saya tidak punya uang untuk menaikinya.
Berjalan sejauh 1,5 kilometer itu, bukannya hanya berjalan tanpa berbuat apa-apa, tapi inilah sekolah saya yang sebenarnya. Karena sepanjang jalan itu saya tidak hanya sekadar melihat sambil lalu, tapi saya mengeksplorasi setiap tempat yang saya lewati, terutama tempat yang ada papan namanya, apakah itu nama toko, nama jalan, spanduk atau apa saja yang ada tulisannya, termasuk nama mobil yang lewat di sepanjang jalan.
Dari apa yang saya lakukan inilah, kemampuan membaca saya meningkat dengan pesatnya. Sehingga saya akhirnya hafal nama-nama toko yang ada di sepanjang jalan yang saya lewati dalam perjalanan menuju pasar tersebut. Bukan hanya sekadar hafal, tapi saya bisa menjelaskan secara rinci urutannya dari awal saya berangkat dari panti asuhan hingga berakhir sampai di pasar, nama dan posisi atau lokasi tokonya, begitu juga apa usaha yang digeluti pemiliknya.
Begitu sampai di pasar, pelajaran membaca saya terus diasah semakin tajam. Saya masuk ke sebuah tempat tukang pangkas rambut bernama SINAMAR, sampai di sana lalu membaca surat kabar yang terbit hari itu, karena pemilik pangkas rambut tersebut berlangganan surat kabar Haluan yang terbit di Padang setiap hari.
Tidak hanya sampai disitu, di tempat pangkas rambut itu pulalah saya belajar mengisi teka teki silang yang hadir di setiap hari Minggu di harian Haluan tersebut. Awalnya saya hanya jadi tukang baca pertanyaan dan menyebutkan jumlah kotak yang terdapat di teka teki silang tersebut, kemudian menuliskan jawaban yang diberikan oleh bapak Darusan, sang pemilik tempat pangkas rambut. Selanjutnya saya mulai mencoba memikirkan jawaban pertanyaan TTS yang saya baca. Karena keterbatasan ilmu dan otak saya tidak mendapatkan jawabannya, baru saya menanyakannya. Tapi tak jarang juga saya menemukan jawaban yang tepat untuk jawaban TTS itu. Mengisi TTS ini membuat perkembangan ilmu pengetahuan saya semakin meningkat.
Saya bisa membaca koran disana setiap hari karena salah seorang tukang pangkas yang kerja disana bernama Zul, adalah orang kampung saya. Bukan hanya itu, bila dia melihat rambut saya sudah panjang, saya akan langsung disuruh duduk di kursi pangkasnya dan memangkas rapi rambut saya, gratis, tis.
Saat saya berkelana di Ranah Minang selama 18 hari tahun 2010, saya menyempatkan diri singgah ke pangkas rambut Sinamar ini. Sayang tempat pangkasnya sudah tutup dan juga berganti nama, walau nama Sinamarnya masih ada, tapi sudah bertambah dengan nama ZUL. Dugaan saya, mungkin bapak Darusan pemilik pangkas sebelumnya sudah tua, lalu menyerahkan tongkat estafet pengelolaan pangkas rambut tersebut ke anak buahnya yang bernama ZUL yang masih muda. Nah di saat Zul beranjak tua, dia tidak punya generasi penerus untuk melanjutkan tongkat estafet pengelolaan tempat pangkas rambut tersebut, sehingga akhirnya tutup.
Bagi saya, tutup atau tidaknya tempat pangkas rambut ini, dia sudah menjadi tempat bersejarah dalam perjalanan hidup saya, dan akan selalu terkenang hingga ajal menjelang. Karena jasanya yang cukup besar dalam mengisi otak saya dengan ilmu pengetahuan melalui surat kabar yang saya baca disana setiap hari. Saya baru berhenti berkunjung ke tempat pangkas tersebut ketika saya keluar dari Panti Asuhan dan pindah ke Panti Asuhan yang baru dibangun di kampung saya.
Saya bisa membaca koran disana setiap hari karena salah seorang tukang pangkas yang kerja disana yang bernama Zul, adalah orang yang sekampung dengan saya. Bukan hanya itu, bila dia melihat rambut saya sudah panjang, saya akan langsung disuruh duduk di kursi pangkasnya dan memangkas rapi rambut saya, gratis, tis.
Saat berkelana di Ranah Minang selama 18 hari tahun 2010, saya menyempatkan diri singgah ke pangkas rambut Sinamar ini. Sayang tempat pangkasnya sudah tutup dan juga berganti nama, walau nama Sinamarnya masih ada, tapi sudah bertambah dengan nama ZUL. Dugaan saya, mungkin bapak Darusan pemilik pangkas sebelumnya sudah tua, lalu menyerahkan tongkat estafet pengelolaan pangkas rambut tersebut ke anak buahnya yang bernama ZUL yang masih muda. Nah disaat Zul beranjak tua, dia tidak punya generasi penerus untuk melanjutkan tongkat estafet pengelolaan tempat pangkas rambut tersebut, sehingga akhirnya tutup.
Bagi saya, tutup atau tidaknya tempat pangkas rambut ini, dia sudah menjadi tempat bersejarah dalam perjalanan hidup saya, dan akan selalu terkenang hingga ajal menjelang. Karena jasanya yang cukup besar dalam mengisi otak saya dengan ilmu pengetahuan melalui surat kabar yang saya baca disana setiap hari, hingga saya keluar dari Panti Asuhan Muhammadiyah Payakumbuh dan pindah ke Panti Asuhan yang baru dibangun di kampung saya.