Padang, Sabtu, 31 Oktober 1970
Setelah beberapa hari tinggal bersama kakak di Kota Padang. Hingga hari Sabtu itu aku keluar dari rumah tempat tinggal keluarga kakak dekat Pasar Gadang, berjalan menyusuri jalan Pasar Mudik, lurus melintasi rel kereta api dan melewati jalan Pasar Hilir, terus ke jalan Pasar Batipuh, tak lama kemudian belok kiri arah jalan Batang Arau.
Hari itu aku bertekad untuk mencari tahu, dimana letaknya kantor surat kabar Haluan, Padang. Walau sebenarnya aku sendiri tak yakin akan menemukannya. Karena kota Padang ini cukup besar dibanding kota Payakumbuh maupun kota Solok yang baru saja aku tinggalkan beberapa hari lalu.
Sebagai anak kampung yang pemalu, aku berjalan dengan diam sepanjang jalan Batang Arau menuju Muaro, dimana Batang Arau ini bermuara. Sambil berjalan aku juga melihat keramaian beraneka ragam perahu maupun tongkang serta kapal yang bolak-balik melintas melayari sungai Batang Arau yang cukup lebar ini. Melihat semua itu, ingatanku kembali melayang ke Sungai Siak, Pekanbaru, dimana aku pernah bermain melihat keramaian perahu maupun kapal yang bersandar di dermaga yang ada di tepi sungai Siak tersebut diawal tahun 60an.
Setelah sampai di Muaro, aku belok ke kanan. Menyusuri jalan Muara, Pantai Padang. Lepas dari jalan Muara, aku lanjut menyusuru jalan Samudera. Tapi aku tak sepenuhnya berjalan di jalan Samudera, karena aku lebih banyak berjalan di atas dam yang membatasi jalan Samudera dengan pantai. Inilah pertama kali aku benar-benar melihat laut yang begitu luas dengan ombak yang bergulung bersusulan, lalu memecah di pantai. Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapakan kekaguman akan laut yang maha luas itu. Dalam kekaguman begitu besarnya kekuasaan Tuhan dengan ciptaanNya, aku terus berjalan di atas dam yang memagari pantai agar air laut tidak sampai ke daratan.
Sambil berjalan menikmati pemandangan laut, aku berjalan terus. Sesekali berhenti dekat perahu, melihat nelayan yang sedang membenahi jaring ikannya, atau membetulkan perahu yang mungkin ada kerusakan.
Aku tidak tahu sudah berapa kilo pantai Padang itu aku telusuri, petualangan yang baru aku alami itu membuat aku tak pernah merasa bosan atau capek, walau aku berjalan begitu jauh sejak dari Pasar Mudik.
Dalam perjalanan menyusuri jalan Samudera yang membujur sepanjang pantai Padang tersebut aku juga tak lupa melihat ke arah berlawanan. Melihat situasi yang ada di seberang pantai, hingga aku melewati jalan Diponegoro yang berujung di Jalan Samudera atau Pantai Padang dan lapangan yang cukup luas yang membentang antara jalan Diponegoro dan Pantai, hingga lapangan tersebutpun disebut sebagai Lapangan Diponegoro.
Berikutnya jalan Hang Tuah yang juga berujung di pinggir pantai. Seakan lupa akan panas yang mulai menyengat tubuh, aku melanjutkan berjalan menyisiri pantai. Dengan perasaan yang sebenarnya gamang atau takut, aku mencoba berjalan di pantai, mencoba memberanikan diri sebagaimana anak-anak yang berlarian sambil bermain dengan ombak yang menghempas di pantai. Tapi aku belum seberani mereka, mendekati ombak menghempas di pantai saja aku tidak berani, takut akan terbawa hanyut oleh ombak saat dia kembali kelaut.
Jalan berikutnya yang aku temui berujung di pantai adalah jalan Ujung Belakang Olo. Kenikmatan menyusuri pantai Padang itu membuat aku belum ingin untuk kembali pulang. Pantai itu seakan mengajak aku untuk berjalan terus.
Mataku seakan tak percaya, saat aku melihat papan nama jalan Damar I. Aku segera teringat harian Haluan yang beralamat di Jalan Damar, Padang. Apakah jalan Damar I ini tembus ke jalan Damar dimana kantor Redaksi Harian Haluan berada?
Rasa ingin tahu, ditambah keinginan yang sudah tertanam sejak pertama kali aku membaca Harian Haluan di Payakumbuh tahun 1965, membuat rasa penasaran itu semakin menggejolak. Aku seakan-akan hendak menemui sesuatu yang sudah aku dambakan lima tahun lebih!
Bila sebelumnya saat menyusuri Pantai Padang aku berjalan santai, kini aku berjalan lebih cepat. Dadaku mulai bergemuruh. Batapa rasa ingin tahu aku bagaimana orang mencetak surat kabar yang begitu lebar bisa aku saksikan. Rasa laparku untuk membaca surat kabar tersebut juga terasa begitu membara. Karena lebih dari dua bulan terakhir sejak aku kerja di Solok, aku tak pernah lagi membaca surat kabar Haluan itu.
Rasa penasaranku sedikit meredup, saat melihat sebuah gedung beringkat tinggi yang pertama aku lihat adalah nama sebuah hotel, yaitu hotel Aldilla yang berada di sebelah kiri jalan Damar I. Tadinya aku mengira itulah kantor redaksi Harian Haluan.
Walau dengan keyakinan yang agak sedikit mengendor dan jalanku tak lagi cepat, aku tetap meneruskan perjalanan hingga aku sampai di jalan raya yang membentang di hadapanku. Dari pinggir jalan yang membentang itu aku melihat rumah-rumah yang ada di seberang jalan, nyaliku semakin ciut dan rasa kecewa pelan-pelan mulai menyerap ke hatiku. Begitu juga saat aku melihat ke deretan rumah yang ada di sebelah kiri, semuanya rumah biasa, tak satupun yang menyerupai kantor.
Dengan langkah yang mulai lunglai aku berjalan dan belok ke kanan. Saat itulah mataku terbelalak, melihat merek Haluan yang terpampang besar di bagian atas gedung. Semangat yang tadi mulai runtuh, akhirnya bangkit kembali. Ada tiga merek yang terlihat di gedung tersebut, walau agak kecil. Paling ujung terlihat nama Aman Makmur sebuah surat kabar harian juga yang terbit di Padang, lalu di tengah Sri Dharma merek percetakan, dan yang paling dekat dengan merek yang paling besar di bagian atas gedung adalah Harian Haluan yang menempati 3 ruangan kantor di bawah mereknya.
Dengan perasaan campur aduk dan dada yang berdebar kencang, aku berjalan menuju ruangan paling pinggir di sebelah kanan, satu-satunya ruangan kantor yang pintunya terbuka dengan tulisan REDAKSI di bagian atas kusen pintunya.
Bersambung.