Pelan-pelan aku berjalan mendekati pintu yang terbuka itu. Bila sebelumnya aku merasakan sedikit kecewa mendekati putus asa, maka kini yang terasa adalah rasa was-was atau harap-harap cemas. Apa yang akan aku lakukan setelah sampai disana nanti? Tak seorangpun yang aku kenal, dan lagi tak mungkin aku akan menyelonong begitu saja ke dalam. Pesan Umi belasan tahun sebelumnya masih tetap tertanam dalam hati. Jangan pernah masuk rumah orang tanpa izin, walau itu rumah saudara sendiri, apalagi rumah orang lain yang tidak dikenal.
Sampai di pintu ruang redaksi yang terbuka tersebut, aku berdiri di pinggirnya, bersandar ketiang pintu. Aku mengintip ke dalam, yang terlihat hanya satu orang laki-laki tua sedang mengetik, sambil sesekali berbicara dengan orang yang berada di meja lain di depannya. Aku tidak melihat dengan siapa dia mengobrol, walau suaranya juga suara laki-laki, tapi tubuhnya tertutup oleh lemari buku yang membatasi ruang tunggu dengan ruang redaksi.
Pandangan mataku beralih ke meja yang ada di ruang tunggu Redaksi. Selain Harian Haluan, aku juga melihat berbagai macam surat kabar terbitan luar daerah berserakan di atas meja tersebut, diantaranya, Kompas, Indonesia Raya, Surabaya Post, Waspada dan Pikiran Rakyat serta beberapa lagi, tapi nama korannya tertutup, hanya sebagian kecil yang terlihat, sehingga aku tidak tahu itu apa nama koran tersebut. Juga tidak semua koran itu aku tahu terbitan mana, kecuali Kompas dan Indonesia Raya yang terbitan Jakarta dan Surabaya Post yang dengan jelas menyebutkan darimana koran tersebut berasal, ditambah lagi dengan gambar Tugu Pahlawan mengisi spasi antara Surabaya dan Post.
Sudah beberapa bulan aku tak pernah membaca surat kabar, sejak aku meninggalkan Payakumbuh dan pindah ke Solok, dan dari Solok pindah lagi ke kota Padang ini. Melihat beraneka surat kabar menumpuk di atas meja ruang tamu, rasanya aku ingin menghambur kesana dan membaca semua koran itu sepuasnya, namun rasa malu, takut juga nasehat Umi berhasil menahan diriku agar tidak masuk kesana tanpa izin.
Suara batuk dan bunyi langkah yang datang dari luar mengagetkan aku, sehingga dengan cepat aku memutar badan dan tidak lagi mengintip ke ruang redaksi tersebut. Rasa takut membuncah di dalam dadaku, takut kalau aku dituduh macam-macam.
Sosok yang membuat aku terkejut tersebut masuk ke ruang redaksi, kemudian menyebut nama pak Datuk kepada orang tua yang asyik mengetik tadi dan menyebut papa kepada orang yang tersembunyi di balik lemari buku yang membatasi ruang redaksi dengan ruang tunggu. Sementara itu aku di luar masih menenangkan diri sambil bersandar ke dinding di samping pintu ruang redaksi, mengatur nafas atas keterkejutan yang baru saja aku alami.
Belum lagi sepenuhnya aku bisa bernafas dengan tenang, sosok yang baru datang tersebut kembali keluar dari ruang redaksi. Begitu berdiri dekat pintu, dia lalu melihat kepada ku, sambil berkata:
“Tolong kamu mintakan sebungkus rokok di warung seberang jalan itu, katakan dari pak Usman…!” katanya cepat sambil menyebutkan nama sebuah merek rokok. Selesai berbicara kepadaku, dia kembali masuk ke ruang redaksi.
Mendapat perintah seperti itu, rasa takut yang tadi menyelimuti tubuhku serentak hilang dan berganti dengan semangat menggebu karena mendapat kepercayaan dari orang yang belum pernah aku kenal yang sebelumnya malah aku takuti, gara-gara aku mengintip ke ruang redaksi.
Aku segera berjalan cepat menuju warung kopi yang ada di seberang jalan yang ditunjukkan pak Usman tadi. Begitu rokok ada di tanganku, dengan langkah yang semakin cepat aku berjalan menuju ruang redaksi.
Karena merasa sudah punya alasan untuk masuk, tanpa banyak tanya lagi aku langsung masuk ruang redaksi dan berjalan menuju meja dimana pak Usman itu duduk dan memberikan rokoknya. Setelah mendapatkan ucapan terimakasih, aku langsung berbalik dan disaat itu baru aku melihat orang ketiga yang tadi dipanggil papa oleh pak Usman.
Aku terus berjalan menuju pintu keluar, tapi begitu sampai di ruang tunggu aku bukannya terus ke luar, tapi belok kanan masuk ruang tunggu. Tumpukan koran di atas meja ruang tunggu itu seakan melambai-lambai memanggilku, untuk melepaskan dahagaku atas bahan bacaan yang sudah cukup lama aku rasakan.
Bersambung