Aku memasuki celah sempit yang terdapat di antara gedung asrama dan bangunan sekolah yang ada di Komplek Perguruan Muhammadiyah, Bunian, itu. Aku baru tahu jalan pintas ini, setelah seorang teman menunjukkan padaku untuk melintas di sana. Biasanya kalau mau ke pasar aku melewati jalan raya di depan komplek, lalu belok kiri, sekitar seratusan meter bertemu simpang tiga. Belok kekiri masuk jalan Kejaksaan dan setelahnya tinggal berjalan lurus hingga sampai di pasar. Atau, bisa juga dari depan komplek aku belok kanan, lalu berjalan melewati simpang Bunian, lewat sekitar 50 meter, masuk melintasi lapangan Poliko. Lapangan sepak bola satu-satunya yang terletak di tengah kota, persis di belakang kantor Bupati Kabupaten 50 Kota. Sayangnya walaupun lebih dekat, pintu besi lapangan ini lebih sering tertutup dan dikunci. Sehingga aku jarang lewat kesana, bila ingin pergi ke pasar.
Celah diantara dua dinding itu benar-benar sempit, sehingga yang bisa lewat di sana hanya anak kecil kelas satu SD seukuran aku. Untuk melewatinya aku sendiripun tak bisa berjalan normal, tapi harus memiringkan badan dan menghadap ke salah satu dinding dan membelakangi dinding yang lainnya, lalu berjalan menyamping dengan beringsut, karena perutku juga menempel ke tembok.
Lepas dari jepitan dinding itu, aku belok kiri menyusuri bagian belakang dinding asrama. Berjalan lurus melewati rumput liar yang tumbuh di sana. Aku berjalan sambil menunduk, mataku liar memperhatikan jalan yang akan aku lewati. Waspada kalau di depanku ada hewan yang aku takuti, ular, lipan atau kalajengking. Perjalanan berakhir di tebing bagian belakang kantor bupati. Aku memanjat tebing itu sambil berpegangan ke rumput yang tumbuh di sana, mengikuti bekas jejak mereka yang sudah pernah melewati jalan rahasia itu. Di atas tebing aku membungkukkan badan, melewati kawat berduri yang dipasang sepanjang batas pekarangan kantor bupati. Lalu, hanya dalam hitungan detik, akupun lolos dari sana dan kini berada di pekarangan kantor bupati!
Karena itu adalah kali pertama aku melewati jalan pintas itu, aku masih takut-takut melintas di halaman kantor bupati yang luas itu. Takut kalau ada yang menegur aku dan bertanya dari mana dan mau kemana. Masalahnya daerah itu bukanlah arena bermain anak kecil kelas 1 SD seperti aku. Namun dengan hati yang dikuat-kuatkan dan diberani-beranikan, aku berjalan terus menuju gerbang utama kantor bupati, satu-satunya jalan keluar dari pekarangan kantor bupati yang luas itu.
Sambil berjalan telingaku siaga seperti kelinci yang tengah terancam, mendengarkan setiap suara yang datang, kalau-kalau ada yang menegurku. Dadaku juga berdebar kencang, karena inilah pertama kali aku melewati tempat ini. Walaupun berjalan sambil menunduk, namun mataku tetap awas dan sering mencuri pandang, memperhatikan sekilas bangunan yang ada di sana. Di sebelah kanan terdapat bangunan perkantoran. Memanjang dari belakang ke depan menghadap ke arah kantor bupati. Di sebelah kiri, persis di belakang kantor bupati, terdapat bangunan besar dan tinggi dengan pintu besi yang terbuka lebar. Rupanya bangunan tersebut adalah gudang, karena aku melihat banyak bahan bangunan di sana, terutama semen yang bertumpuk berkarung-karung dan entah apa lagi, karena bagian dalamnya kelihatan lebih gelap. Yang masih sempat terlihat hanya drum aspal berwarna hitam dan kayu bangunan.
Setelah gudang, kedepannya barulah bangunan kantor bupati yang bangunannya berupa rumah tradisional Minangkabau, yaitu bangunan bergonjong memanjang dari utara ke selatan, menghadap langsung ke pasar kota Payakumbuh yang hanya di batasi jalan Sudirman.
Halaman depan kantor bupati ini cukup luas. Di sayap kanan dan kirinya terdapat masing-masing kolam berbentuk lingkaran cukup besar yang di tengahnya terdapat bunga teratai. Di sekeling kolam juga di bangun taman yang ditanami aneka macam bunga yang aku tak tahu namanya, namun banyaknya bunga yang tengah mekar, membuat halaman kantor bupati itu terlihat semarak. Persis di tengah halaman namun lebih dekat ke teras kantor bupati, terdapat tiang bendera dengan bendera merah putih yang cukup besar berkibar di puncaknya.
Akhirnya setelah berjalan dengan perasaan tegang sepanjang halaman kantor bupati itu, aku sampai juga di gerbang utama. Aku menarik nafas lega, namun suara klakson mobil di belakangku yang mau keluar dari pekarangan kantor bupati, membuat aku terperanjat dan secara refleks melompat ke pinggir taman, menghindar dari mobil itu. Ketika mobil itu lewat, kulihat catnya berwarna hijau, sebuah mobil tentara yang yang sering di sebut orang mobil Gaz, dengan tutup mesinnya berbentuk lancip kedepan, sedang bagian belakangnya ditutup dengan terpal tebal yang juga berwarna hijau.
Setelah mobil itu berlalu, barulah aku benar-benar bernafas lega. Itu karena aku benar-benar sudah berada di luar pekarangan kantor bupati, menunggu waktu untuk menyeberang jalan ke pasar yang sudah berada di hadapanku.