
1965, Kisah yang mengandung penyesalan.
Bila teringat kisah ini, saya jadi malu sendiri, karena memang sangat memalukan, menyebalkan atau mungkin juga menyedihkan.
Saya masuk Panti Asuhan sejak awal masuk Sekolah Dasar tahun 1964 di Bunian, yang terletak di tengah kota Payakumbuh, Sumatera Barat.
Masuk tahun ajaran baru 1965, kami pindah ke asrama baru yang berada di pinggir kota Payakumbuh, di tengah kampung Padang Tiakar yang terletak 1,5 kilometer dari asrama sebelumnya.
Di Panti Asuhan yang berada dibawah pengelolaan Aisyiyah, organisasi ibu-ibu yang berada di lingkungan Muhammadiyah, yang berisi lebih dari 50 anak asuh itu, saya bertemu dengan salah seorang anak asuh wanita yang usianya beberapa tahun diatas saya, sebut saja namanya Ema yang sehari-hari saya panggil uni Ema.
Saya merasa dekat dengan uni Ema ini karena berasal dari kampung yang sama dengan saya, yang jauhnya 30 kilometer dari kota Payakumbuh.
Pada suatu ketika saya ingin sekali membeli sesuatu, yang saat ini saya sudah lupa barang apa yang saya ingin beli tersebut.
Karena tidak punya uang sebagaimana keseharian kami yang memang tak pernah punya uang jajan, saya lalu memintanya kepada uni Ema. Awalnya dia bilang tidak punya, tapi karena saya merengek sambil menangis, dia lalu memberi saya uang kertas merah 25 sen seperti pada foto yang saya tampilkan di atas.
Karena tidak cukup untuk membeli barang yang saya inginkan, saya lalu meminta lagi tambahannya dengan menangis lebih keras lagi sambil duduk menghantam-hantamkan kaki di lantai teras depan kamar asrama yang berbaris memanjang seperti rumah bedeng tersebut.
Karena memang mungkin dia tidak punya uang lagi dia tetap mengatakan tidak punya, hal itu membuat saya kesal lalu merobek-robek uang kertas 25 sen yang ada di tangan saya hingga menjadi potongan kertas kecil sehingga sulit untuk dikenali selain dari warnanya yang merah.
Karena dibiarkan lama menangis dan tidak dihiraukan, akhirnya tangisan saya berhenti sendiri, tinggal hanya isakan disertai airmata yang pelan-pelan juga berhenti mengalir.
Setelah terdiam sekian lama, pelan-pelan kesadaran saya timbul. Saya sadar kalau uni Ema itu bukanlah kakak kandung saya, kami adalah teman senasib sebagai penghuni panti asuhan ini. Teringat akan hal itu, datanglah penyesalan dalam hati yang diiringi datangnya bayangan ibu dan ayah yang telah tiada. Airmata saya kembali mengalir deras mengiringi isak tangis mengenang nasib tiada ayah dan ibu serta 5 saudara yang keberadaannya entah dimana dibawa nasibnya masing-masing.
Bila tadi tangis saya adalah tangis kemarahan karena keinginan yang tak terpenuhi, kini tangis saya adalah tangis kesedihan yang sulit untuk diungkapkan karena diiringi dengan penderitaan dan pengalaman hidup yang dijalani sejak di tinggal ibu saat usia 4 tahun, dan ditinggal ayah saat masih dalam kandungan ibu. Penyesalan susulan adalah melihat sobekan uang yang sudah tidak lagi berbentuk berserakan di sekitar saya.
Dibawah tatapan mata anak asuh lain yang melihat saya dengan tatapan dan perasaan yang tidak saya ketahui, saya lalu berjalan ke kamar, lalu tidur di kasur sambil terisak, hingga akhirnya tertidur.
Bila teringat kisah ini saya merasa berdosa terhadap uni Ema, semoga dia memaafkan adiknya yang tidak tahu diri ini.