Setelah selesai makan, semua penumpang dipanggil melalui pengeras suara agar kembali naik bus. Begitupun kami, segera kembali naik bus. Setelah semua penumpang lengkap naik semua, bus yang kami tumpangi melanjutkan perjalanan. Sopir yang mengemudikan bus yang kami tumpangi ini telah berganti dengan sopir dua, tidak lagi sopir yang tadi yang dipanggil sebagai sopir satu. Sopir yang sekarang orangnya agak pendiam dan kurang suka mengobrol seperti sopir pertama.
Bus melaju meninggalkan nagari Lubuak Bangku, komplek rumah makan terbesar menjelang memasuki hutan raya Bukit Barisan, yang membelah dua pulau Sumatera menjadi Barat dan Timur. Pintu gerbang hutan Bukit Barisan ini adalah Kelok Sembilan. Dinamakan kelok Sembilan karena memang untuk mendaki puncak Bukit Barisan itu, semua kendaraan akan melewati jalan mendaki yang berkelok-kelok, dan jumlah kelok atau tikungan yang akan dilewati itu banyaknya Sembilan. Makanya dinamai Kelok Sembilan.
Tidak lama setelah meninggalkan rumah makan, bus kami memasuki tikungan pertama Kelok Sembilan. Bus yang tadinya melaju kencang mulai melambat karena jalan mulai mendaki. Memasuki tikungan kedua bus kami terpaksa berhenti, karena dari jalur berlawanan, sebuah truk pas melintasi tikungan kedua. Setelah truk melewati tikungan, barulah bus kami berjalan lagi dan memasuki tikungan kedua. Lepas dari tikungan kedua menuju tikungan ketiga, di depan kami sebuah truk penuh muatan berjalan pelan seakan tak kuat lagi mendaki. Di samping truk dekat roda belakang, stokar atau kenek truk mengikuti sambil berjalan kaki, sambil menenteng sebuah ganja, sepotong kayu persegi panjang yang mungkin lebih besar dari kepalaku, panjangnya kira-kira setinggi lutut kenek truk itu. Bila truk itu berpapasan dengan kendaraan dari depan, kadang dia terpaksa berhenti, si kenek dengan sigap meletakkan ganja yang dipegangnya di belakang roda truk, sehingga menahan truk itu agar tidak mundur.
Bus kami terpaksa mengiringi truk yang berada di depan, sampai melewati tikungan ketiga. Bus kami tidak mungkin mendahuluinya, karena jalan didepan kami tidak cukup lebar dan truk tersebut telah mendekati tikungan.
Setelah bus kami melewati tikungan menyusul truk, barulah kami dapat mendahului truk yang berjalan tertatih-tatih keberatan muatan itu. Sementara keneknya dengan setia berjalan di samping truk, dekat roda belakang. Aku membayangkan, alangkah jauhnya sang kenek berjalankaki mendaki Kelok Sembilan sambil mengiringi truknya yang jalannya seperti pedati yang di tarik kerbau, sambil menjinjing ganja kayu yang kelihatannya juga cukup berat.
Menyelusuri Kelok Sembilan bus Sinar Riau yang kami tumpangi berjalan cukup stabil, sambil beberapa kali berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan, serta beberapa kali mendahului truk dengan muatan penuh seperti truk yang pertama kali kami lewati tadi. Sopir bus kami juga begitu hebat membawa kendaraannya.
Kelok Sembilan yang kami lewati, semakin lama mendaki semakin tinggi. Setelah melewati beberapa tikungan, kami melewati jalan yang agak panjang menjelang tikungan berikutnya. Di sebelah kiri kami terdapat pinggir tebing yang curam, bila pak sopir kurang hati-hati maka akan tamatlah riwayat kami. Di tikungan berikutnya kami berada di sebelah dinding tebing yang tinggi tegak lurus, seakan mau menimpa bus yang kami tumpangi.
Semakin keatas memasuki hutan, keadaan juga semakin gelap. Matahari telah hampir tenggelam. Tapi aku tidak tahu di sebelah mana kami posisi mata hari saat itu, karena di sekeliling kami hutan lebat serta bukit, dengan kayu yang besar-besar dan tinggi menghalangi cahaya matahari. Bus kamipun telah menyalakan lampu, untuk menerangi jalan yang berada di depannya, perjalanan malam pun dimulai.
Bersambung