
Namanya Abrar, perkenalan saya dengannya melalui Facebook. Setelah menelusuri akunnya, baru saya tahu kalau dia sekampung dengan saya, tapi usia kami beda jauh, bahkan anak kedua saya lebih tua dua tahun dari dia. Dari FB jugalah saya tahu kalau Abrar ini kesehariannya hidup di atas kursi roda. Walau sekampung, tapi kami tidak ada hubungan keluarga. Hanya saja ayah Abrar adalah teman almarhum kakak saya Taslim dalam mengolah kebun kami. Sayangnya pertemanan mereka berakhir ketika kakak saya duluan di panggil Yang Maha Kuasa.
Abrar lahir 14 April 1987. Lahir dalam keadaan normal, namun diusia 6 bulan Abrar mengalami tubuhnya kejang-kejang dan membiru, badannya menggigil karena panas tinggi. Saat kejadian sang ayah sedang ke hutan menggarap tanah milik orang kampung yang dipercayakan kepadanya. Seorang tetangga lalu memanggil sang ayah ke tempat dia berkebun.
Setelah sang ayah sampai di rumah, Abrar segera dibawa ke Puskesmas, berjalan kaki sejauh 3 kilometer lebih, karena saat itu di kampung belum ada angkot. Sampai di Puskesmas Abrar langsung ditangani petugas. Selesai ditangani dan diberi obat, petugas sempat mengatakan kepada orang tua Abrar, kalau terlambat sedikit lagi, ada kemungkinan Abrar tak tertolong.
Rupanya kejadian yang menimpa di usia 6 bulan itu adalah awal dari perjalanan hidup Abrar akan berlangsung di kursi roda. Karena, walaupun asupan tubuhnya setiap hari normal, namun pertumbuhan fisiknya mulai melambat, terutama sejak dia berusia 2 tahun, pelan-pelan tubuh balita yang tadinya aktif bergerak lincah dan menggemaskan itu mengalami penurunan fungsi.
Perubahan paling nyata adalah saat dia berjalan. Jalannya yang tadi normal, mulai terlihat pincang. Tangannya yang sebelumnya bisa memegang dan menggenggam apapun yang dipegangnya, mulai melemah. Cengkeramannya tak lagi bertenaga, sehingga apapun yang dipegangnya berjatuhan. Begitu juga pertumbuhan badannya, tak lagi pesat, kecuali bagian kepala yang tetap tumbuh normal, begitu juga fungsi otaknya. Pada pemeriksaan lanjutan dokter mengatakan Abrar terkena polio. Kedua orang tua Abrar terkejut, namun tak bisa berbuat apa-apa.
Memasuki usia sekolah, Abrar dimasukkan ke SLB di Padang. Beruntung fungsi otaknya berjalan normal, bahkan Abrar termasuk murid yang cerdas di kelasnya.
Lumpuh totalnya semua fungsi tubuh Abrar, membuat dia harus berkenalan dengan kursi roda, kendaraan yang menemaninya hingga kini sepanjang hari. Kursi roda pertamanya adalah hasil kreatifitas mahasiswa IKIP Padang yang kost di komplek SLB. Sebuah kursi roda terbuat dari kayu yang dilengkapi papan sebagai meja di bagian depan, sehingga memudahkan Abrar dalam belajar menulis maupun mengerjakan tugas-tugas pelajarannya.
Dengan kursi roda buatan mahasiswa IKIP tersebut, Abrar yang tadinya kemana-mana harus digendong, kemudian bisa pergi belajar ke kelasnya dan bermain di seputar sekolah tanpa harus digendong lagi. Para mahasiswa itu malah dengan senang hati bergantian mendorong kursi roda buatan teman-temannya, mengajak Abrar bermain di sekitar sekolah sore hari, saat pelajaran sudah usai.
Sayangnya pendidikan Abrar harus terhenti saat dia kelas empat. Penyebabnya adalah penyakit polio yang dideritanya semakin merambat ke seluruh tubuhnya. Fungsi motorik tangan Abrar yang tadinya masih bisa dipakai untuk menulis, lumpuh total, hingga jari-jarinya tak lagi bisa memegang pensil untuk menulis.
Tapi rupanya Tuhan masih memberikan kesempatan buat Abrar meneruskan pendidikannya, sewaktu dia sudah kembali tinggal bersama kedua orang tuanya di kampung halamannya, Kamang Hilir. Sehingga pendidikan dan pelajarannya tidak terputus begitu saja.
Adalah Muziana, seorang pensiunan guru yang kebetulan juga sekampung, merasa terpanggil hatinya untuk melanjutkan pengabdiannya mengisi hari-hari dalam menjalani masa pensiunnya. Dengan berjalan kaki sekitar 1 kilometer dari rumahnya, Muziana membantu melanjutkan pendidikan Abrar dengan berkunjung ke rumah orang tua Abrar. Boleh dikatakan semua mata pelajaran diajarkan oleh ibu guru mempunyai jiwa sosial yang tinggi itu. Matematika, Menggambar, Bahasa Indonesia, Agama, Geografi, IPA, IPS dan yang lainnya. Jam belajarnya 3 jam sehari, mulai pukul 8 pagi hingga pukul 11 siang. Kecerdasan Abrar ikut menyemangati sang guru Muziana dalam memberikan pelajaran terhadap muri spesialnya ini
Seandainya semua saudara Abrar hidup, maka mereka ada 4 orang. Sayangnya, kakak tertua yang lahir setelah 8 tahun usia pernikahan orang tuanya, meninggal saat berusia 6 bulan. Lalu beberapa waktu kemudian ibunya keguguran. Setelah itu barulah lahir kakak laki-laki yang 6 tahun lebih tua, bernama Akmal. Akmal yang bertubuh normal, cukup beruntung bisa menempuh pendidikan hingga menamatkan STM. Akmal yang hingga saat ini masih sendiri dan menjadi tulang punggung keluarga, bekerja menjadi relawan Petugas Pengawas Hutan, yang berada di bawah naungan Kementerian Kehutanan.
Beruntung, saat saya berkunjung ke rumahnya, saya bertemu dengan sang kakak yang di kampung di panggil uda, beserta Eli, ibu mereka. Setelah ngobrol bersama dan sebelum meninggalkan mereka, saya lalu menyerahkan laptop ASUS yang selama ini menemani saya, berikut external DVD Driver dan sebuah flashdisk. Sebuah niat yang sudah saya tanamkan sejak saya tahu tentang kondisi Abrar. Semoga apa yang saya berikan itu bermanfaat bagi Abrar, termasuk Akmal, yang harus memberikan laporan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya, sehingga Akmal tak perlu lagi harus pergi jauh-jauh ke kantor Walinagari atau kantor Camat, meminjam komputer untuk membuat laporan hasil pekerjaannya
Akmal dan Akbar saat ini hidup bertiga dengan Eli, sang ibu yang sehari-hari mereka panggil Etek, di rumah yang dibangun dengan hasil keringat sang ayah sebelum dia meninggal tahun 2009 lalu.
Mungkin bagi mereka yang berkecukupan adalah saat yang tepat untuk berbagi dengan mereka, dengan zakat harta atau yang lainnya, karena Ramadhan adalah saat terbaik menunaikan kebaikan berbagi dengan mereka langsung atau melalui Dompet Dhuafa.
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”