
Ini dia si kecil yang nakal bersama kakak tertua
Ada semacam adagium yang berkembang di kampung saya semenjak saya kecil, yaitu: Anak yatim atau yatim piatu itu pasti nakal. Saya tidak tahu darimana datangnya tuduhan seperti itu, karena pandangan itu dinyatakan secara pukulrata dalam arti semua anak yatim atau yatim piatu itu nakal.
Tentu sangat subjektif bila hal itu saya jawab dengan kata Tidak semua anak yatim atau yatim piatu itu nakal. Karena nakal menurut mereka belum tentu nakal menurut saya, apalagi nakalnya itu nakal anak-anak, sebab definisi atau pengertian nakal itu pasti berbeda pada setiap orang. Karena semua itu saya yang mengalaminya! Hehehe…
Bagi yang belum tahu bagaimana kenakalan saya di masa kecil atau balita, mungkin bisa membaca buku saya “Seorang Balita Di Tengah Pergolakan PRRI” (promosi… hehehe)
Saya lahir sudah dalam keadaan yatim, ayah saya meninggal karena sakit saat saya berusia 7 bulan dalam kandungan ibu. Ibu saya meninggal saat terjadinya pergolakan PRRI, mati dibunuh tentara pusat karena dianggap terlibat dan dituduh Soekarno sebagai pemberontak terhadap pemerintahan pusat. Kuburan ibu saya disembunyikan, sehingga sampai kinipun kami tidak pernah tahu dimana dia dikuburkan.
Kenakalan saya yang pertama adalah saat saya tinggal bersama dua orang kakak di Pakanbaru tahun 1960. Kedua kakak saya bekerja dan saya ditinggal di rumah kos sendirian. Karena sepi tidak ada teman bermain, maka saya pergi bermain ke jalan raya dan ke Pasar Bawah, melihat keramaian lalu lintas serta pedagang kaki lima. Sudah tahu tak punya duit, tapi berani-beranian menawar dagangan orang, yang berbuntut saya harus kabur ketakutan karena tidak jadi membeli.
Masih di Pakanbaru, dari rumah kos kakak yang perempuan saya dibawa ke tempat kakak laki-laki yang saya panggil tuan Salim, yang bekerja di bengkel perabot di daerah Sukajadi. Setelah beberapa hari disana, sekali saya nemu duit 1 rupiah dekat mesin jahit majikan tuan Salim yang masih ada hubungan saudara. Dengan uang itu saya lalau membeli jambu air yang ditusuk lima buah seperti sate. Dapat tuduhan mencuri, saya dihukum, kuping di tarik hingga merah, lalu dikurung di kamar gantung dibawah atap bengkel perabot. Merasa tidak kuat melihat kenakalan saya yang suka ngelayap kemana-mana sendirian di usia yang baru 5 yahun, akhirnya saya dikirim pulang lagi ke kampung.
Masuk panti asuhan anak yatim di Bunian Payakumbuh, membuat saya punya tempat bermain yang lebih ramai. Panti yang dekat dengan pasar, tidak bisa menahan keingin tahuan saya yang besar untuk melihat begitu banyak hal-hal yang baru dimata saya di tengah pasar. Tukang obat yang berdagang di kaki lima sambil berorasi dengan hebatnya mempromosikan dagangannya adalah tempat yang paling saya sukai untuk nongkrong. Apalagi kalau ada permainan sulapnya yang sering menipu kami. Katanya mau main sulap sehingga ramailah penonton yang berkumpul di sekitar lapaknya. Begitu sekeliling sudah penuh penonton, diapun mulai berorasi memperkenalkan kehebatan obatnya, saking lihainya ngomong, para penontonpun terpukau dan tak beranjak. Sulap yang ditawarkan di awal orasi, malah tidak disentuh sama sekali. Hasil dari pengembaraan saya kepasar sehari-hari, adalah tidak naik kelas dari kelas 1 ke kelas 2, karena rapor saya kebakaran. Diantara sekian banyak pelajaran, hanya satu yang biru, yaitu kerajinan. Bagaimana mau absen, kalau sekolah terletak di samping asrama, dan masih dalam satu bangunan. Pindah asrama ke Labuh Basilang yang jaraknya hampir dua kilometer dari asrama dan dinaikkan ke kelas 2, namun kelakuan tak berubah dan masih menjadi preman pasar, akhirnya dikirim pulang kampung lagi! Busyeeet…..
Sampai di kampung, ada petani yang punya kebun jeruk luas, persis di belakang sekolah. Saat buahnya besar dan matang, pulang sekolah sengaja pulangnya di telatin, maksudnya ya mau nyolong jeruk buat dimakan bareng teman segerombolan. Kalau sampai ketahuan, pontang panting deh kabur lewat kebon pisang. Gubraaaaks, bummm… kalau ada yang kesandung dan jatuh.
Lalu kenapa kenakalan yang bisa berlaku pada semua anak kecil ini hanya dibebankan pada anak yatim? Satu hal yang mungkin bisa ditarik jadi pembenar adalah: Tidak ada yang membimbing si anak dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Setiap kesalahan yang dilakukannya langsung di beri stempel “anak yatim nakal”. Padahal dia juga butuh perhatian, kasih sayang yang tulus dan empati. Bukan hardikan yang sering diterimanya bila kelihatan dia membuat kesalahan. Sehingga dia semakin merasa terpinggirkan, karena tak seoranpun yang peduli. Kalaupun ada hanya sesaat, padahal yang dibutuhkannya adalah kesinambungan, sebagaimana yang didapatkan oleh anak-anak yang masih mempunyai kedua orang tua kandung.
Iya..saya juga pernah dengar stereotype anak yatim itu nakal, kata ibu saya untuk menguji kesabaran dan keimanan, karena menghardik anak yatim kan dosa pak. Tapi namanya anak-anak semua sama.wallahu alam.
Orang tua zaman dulu banyak yang belum bisa memisahkan antara nakalnya anak-anak yang harus dipahami sebagai rasa ingin tahu si anak yang besar, dengan nakal yang berperilaku negatif. Bagi mereka yang namanya nakal ya dianggap negatif semua. Kalaupun negatif pasti karena mereka mencontoh dari lingkungan yang ada.
Terimakasih telah berkunjung
Salam
Sekarang sepertinya stereotype semacam itu sudah tidak ada atau berkurang. Mungkin juga karena orang-orang lebih sering unjuk kepedulian dan panti asuhan sudah banyak walaupun tidak besar. Jadi anak yatim lebih diperhatikan.
Pengetahuan orang dalam mendidik anak kini sudah semakin berkembang dan maju. Sehingga apa yang pernah terjadi pada masa silam, sekarang sudah berkurang, kalau tidak bisa dikatakan hilang sama sekali. Tuntunan agama juga sudah semakin berperan dalam hal mendidik anak, sehingga para anak yatim saat ini sudah bisa menikmati kehidupan yang lebih baik.
Terimakasih telah berkunjung Afifah
Salam.