Anakku Telah Kembali

IMG_5673aa

Kembali dari Bandara Minggu siang, saya berfikir keras bagaimana cara mendapatkan informasi selanjutnya. Saya mencoba mengumpulkan beberapa data melalui akunnya di media sosial Facebook, Maskapai penerbangan dan beberapa lainnya lagi, untuk saya telusuri hari Senin besoknya. Hari ini saya ingin mengembalikan stamina saya yang hanya sempat tidur di ruang tunggu Bandara selama kurang dari 3 jam dalam 36 jam terakhir, sejak Sabtu dini hari.

Senin pagi sekitar jam 9, saya memulai usaha pencarian saya dengan meng-add Meilani Agi Satrio, salah seorang teman Hastuti yang tinggal di Dares Salam, Tanzania, yang saya dapatkan dari akun Hastuti di Facebook. Saya ingin menelusuri perjalanan Hastuti mulai dari Tanzania, tepatnya dari kota Moshi yang berada di kaki gunung Kilimanjaro. Walaupun Meilani berada di Dares Salam, ibukota Tanzania. Tapi saya tetap berharap, semoga melalui Meilani saya bisa menghubungi teman Hastuti yang berada di Moshi.

Rupanya apa yang saya lakukan itu, Alhamdulillah, mendapat tanggapan yang menggembirakan. Tidak sampai satu jam kemudian, jam 10 lewat beberapa menit, Meilani mengkonfirmasi pertemanan saya di Facebook. Tanpa menunggu waktu lagi, saya langsung menulis pesan melalui inbox. Setelah memperkenalkan diri sebagai oang tua maya Hastuti, saya lalu mengatakan bahwa Hastuti belum sampai di Indonesia. Dan minta izin menshare tulisan saya di Kompasiana, di dinding akun Facebooknya Meilani, agar dia bisa mendapat gambaran lengkap penantian saya di Bandara Soekarno Hatta dalam menunggu kedatangan Hastuti.

Dalam kekagetannya mendapat pesan dari saya, Meilani mengatakan setahu dia Hastuti sudah pulang ketanah Air dengan menumpang pesawat Kenya Airways. Tapi perjalanan lanjutannya Melani tidak tahu. Tapi Meilani akan mencoba menghubungi teman kuliah Hastuti yang masih berada di Moshi. Meilani nampaknya juga bekerja cepat menghubungi beberapa teman yang dikatakannya. Beberapa saat kemudian Meilani meminta nomor telepon genggam saya, yang langsung saya balas dengan menuliskan dua nomor saya yang selalu aktif.

Jam 12.30 satu paggilan tak terjawab masuk dari nomor yang belum saya kenal. Saya lalu memanggil balik. Dalam percakapan singkat, seorang wanita memperkenalkan diri bernama Ester, dan menyebutkan bahwa dirinya teman Hastuti. Ester lalu mengatakan dia tengah mencoba menyusuri jejak Hastuti sejak keberangkatannya dari Moshi, Tanzania. Begitu telpon ditutup, pikiran saya langsung menyambar, betapa cepat tehnologi bekerja, hanya dalam hitungan beberapa jam, saya berhubungan dengan orang belum pernah kenal sebelumnya pada jarak ribuan kilometer. Saya memastikan Ester mendapatkan nomor saya dari Meilani, yang mungkin masih sarapan pagi di Afrika sana.

Pukul 14.30

Sebuah sms masuk dari Ester, bunyinya: Pak Dian, ini Ester. Semua tiket sudah di track dan semua tiket sudah di gunakan, Hastuti sudah berada di Indonesia.

Sudah di Indonesia? Ini hari ketiga kalau di hitung dari hari Sabtu. Tapi saya belum tahu di mana keberadaan Hastuti. Where are you honey?

“Terimakasih Ester saya akan mencoba menelusuri jejaknya…” Saya membalas sms Ester. Walau dalam hati sendiri saya juga sebenarnya tidak begitu yakin dengan apa yang saya katakan. Karena begitu gelapnya jejak yang akan saya telusuri itu.

Pukul 18.22

Kembali sebuah sms dari Ester: Malam pak. Kami sudah menyusuri Imigrasi. Dari catatan disana nama Hastuti sudah sampai di  Indonesia jam 21.12 hari Sabtu….

Saya tak membaca semua sms itu, karena pikiran saya segera kembali berkelebat ke Bandara Soekarno Hatta, saat kejadian hari Sabtu pukul 9 malam itu. Dimana saat itu saya tengah menunggu pesawat dari kawasan Teluk. Yang semuanya mendarat diatas jam 10 malam di terminal kedatangan 1D. Dan bukan tak mungkin pada jam itu saya justru tengah melihat monitor kedatangan pesawat yang letaknya hanya sekitar 30 meter dari pintu kedatangan pesawat Garuda yang baru datang dari Bangkok dan Hastuti melintas tak jauh dari saya, aduh…

Malam itu saya belum bisa tidur nyenyak, saya tahu Hastuti seorang anak gadis yang mandiri yang biasa kemana-mana seorang diri, termasuk berkelana di tanah Afrika sana. Tapi beratnya kehidupan Jakarta untuk seorang perempuan berjalan malam seorang diri, tetap memberati pikiran saya. Salah satu tempat yang harus saya datangi besok Selasa adalah kantornya dia. Sebuah sekolah khusus yang terletak di Fatmawati, Jakarta Selatan sana. Saya memang belum pernah pergi kesana, hanya baru mendapat gambaran sekilas, tentang sekolah itu.

***

Selasa, 24 Setember

Saya harus menunggu anak saya Rizqy pulang sekolah dulu pukul 11.00, baru bisa meninggalkan rumah. Istirahat sejenak setelah online sejak subuh, saya bermain ke pasar dekat rumah. Selagi duduk ngobrol dengan teman, telepon saya berdering, nomor baru.

“Hallo…!”

“Assalamualaikum…!”

“Alaikumsalam,siapa ni…?

“Hastuti, pak…”

Dalam hitungan detik, dada saya berdebar. Saya tak tahu harus berkata apa, berjuta kata rasanya ingin berebut meluncur dari mulut saya, tapi saya tidak tahu yang mana yang duluan harus saya ucapkan!

“Kamu di mana nak?”

“Di kost, pak…”

“Kita harus bertemu sekarang, bisa?

“Bisa, di mana?”

Saya berfikir sejenak, mengingat saya berada di Tomang dan dia di Fatmawati, maka saya mengambil jalan tengah. “Bagaimana kalau kita bertemu di Blok M?”

“Ok, jam berapa?”

“Kita shalat zuhur dulu, setelah itu baru berangkat. Jadi ketemunya sekitar jam setengah dua…!”

“Ok…!”

Saya segera pulang dari pasar yang jaraknya hanya 100 meter dari rumah. Karena sudah masuk zuhur, saya langsung berwudhuk lalu shalat. Harus saya akui, suasana hati saya mempengaruhi shalat saya, tapi biarlah Allah yang menilainya. Suasana hati yang kalut selama tiga hari, kini berubah 360 derajat, anakku sudah di temukan! Biarlah Anda yang membayangkan suasana hati saya saat itu. Bila Anda mengikuti kisah ini dari awal.Watch Full Movie Online Streaming Online and Download

Selesai shalat, saya langsung menyambar tas punggung yang berisi kamera, lalu berjalan cepat menuju halte bus Telkom. Dengan menumpang Kopaja 88 saya menuju Slipi. Di depan Slipi Jaya saya turun, karena saya ingin menyambung perjalanan saya ke Blok M dengan bus Mayasari yang datang dari Tangerang. Agak lama menunggu, yang datang justru Kopaja AC S13. Saya sebenarnya kurang begitu suka naik Kopaja AC ini, karena jalannya yang terlalu santai. Cuma saya juga tidak ingin menunggu lebih lama lagi dalam ketidakpastian.

Benar saja, saat bus yang saya tumpangi baru sampai di jembatan Semanggi, sms dari Hastuti masuk, menyatakan bahwa dia telah sampai di Blok M. Saya lalu membalas dan mengatakan saya masih di Semanggi. Sambil menahan diri, saya mencoba untuk bersabar, karena merasakan bus berjalan terasa semakin lambat.

Tidak ada celebration berlebihan saat kami bertemu, walau sebagai orang tua ingin rasanya mengungkapkan rasa rindu pada anaknya, tapi ada batasan yang harus saya jaga. Saya tidak bisa mengungkapkan betapa bahagianya saya saat itu. Kurang tidur saya, kegelisahan saya sejak meninggalkan bandara dengan tangan hampa. Saat itu terbayar sudah, anakku sudah kembali!

Kami berjalan menuju Pujasera Blok M Square, lalu singgah di sebuah rumah makan yang juga menyediakan soto Padang. Di sanalah, sambil makan soto Hastuti menceritakan bagaimana terjadinya miscommunication diantara kami.

Hastuti berangkat dari Moshi, jam 9 pagi tanggal 20 September menuju Nairobi, Kenya. Perjalanan antar Negara itu hanya membutuhkan waktu satu jam. Namun transit di Nairobi inilah yang memakan waktu lebih lama. Hastuti harus berada di bandara selama 12 jam. Karena penerbangan dengan Kenya Airways menuju Bangkok baru akan berangkat jam 11 malam waktu Nairobi. Yang membuat waktu tunggu ini semakin menyiksa, adalah karena sebulan sebelumnya bandara Nairobi ini terbakar sebagian. Sehingga banyak fasilitas umum yang belum berfungsi. Misalnya masjid yang ikut terbakar, sehingga menyulitkan untuk mencari tempat shalat. Restoran yang buka hanya satu-satunya, sehingga antrian makan yang begitu panjang, dan banyak lagi.

Setelah sampai di Bangkok, Thailand. Hastuti mencoba menghubungi saya dengan pesawat telpon yang masih memakai nomor Tanzania. Disinilah permasalahan timbul, menelpon tidak bisa, sms yang dikirimkan pun tidak sampai kepada saya. Sementara saya di bandara Soekarno Hatta tetap berkutat dengan menongkrongi penerbangan dari daerah Teluk.

Hingga Hastuti melanjutkan penerbangan dengan Garuda ke Jakarta, dia tetap tidak bisa menghubungi saya. Sampai saat Garuda mendarat, dan Hastuti keluar di gerbang kedatangan 1E yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari gerbang 1D, di mana saya menungu dia.

Karena tidak menemukan saya di ruang tunggu Garuda, Hastuti langsung naik taksi menuju Fatmawati, tempat dia kost. Karena kecapean, dia istirahat total selama hari Minggu dan Senin di kostnya. Hari selasa baru Hastuti melapor kekantornya, setelah itu membeli kartu perdana baru, lalu menghubungi saya.

6 bulan tidak bertemu, banyak cerita yang terungkap, hingga kami berpisah saat saya mengantar ke kostnya di Fatmawati selepas shalat Magrib, yang sempat di selingi makan nasi goreng di Bulungan. Kini sayapun lega, anak saya yang hilang telah bertemu kembali. Alhamdulillah

 

 

 

 

 

 

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.