Jalan Ahmad Yani yang membelah dua pasar Payakumbuh. Di sinilah perjalanan 1,5 km itu bermuara (Dokpri BDRM2010)
Saat menerima rapor kenaikan kelas 1 SD tahun 1964, saya mendapati rapor saya kebakaran, nyaris terbakar habis! Hanya satu yang berwarna biru, itu pun bukan salah satu dari sekian mata pelajaran yang diajarkan guru di depan kelas, tetapi nilai kehadiran saya di sekolah yang di rapor ditulis sebagai Kerajinan. Ya, iyalah, bagaimana mau mangkir kalau Panti Asuhan tempat saya tinggal satu komplek dengan gedung sekolah. Halaman panti adalah halaman sekolah saya juga.
Mengisi libur setelah terima rapor hingga memasuki tahun ajaran baru saya merasa tidak nyaman, bagaimana tidak? Saya membayangkan bagaimana teman yang tadinya duduk bareng di kelas 1, sebentar lagi akan duduk di kelas 2 sementara saya harus tetap duduk di kelas 1, berdampingan dengan anak-anak baru masuk kelas 1 SD, yang tadinya adalah anak TK yang sekolahnya juga berdampingan dengan SD tempat saya belajar.
Rupanya Allah mendengarkan jeritan hati saya, sebuah peristiwa mengubah segalanya, yang kemudian membuat saya bersyukur. Peristiwa itu adalah, Panti Asuhan Muhammadiyah, Bunian, Payakumbuh, tempat saya tinggal dan diasuh itu berada di tengah kota. Menyempil di dua ruangan yang sebenarnya dibangun untuk ruang kelas sekolah di Komplek Perguruan Muhammadiyah itu.
Pemindahan lokasi Panti Asuhan ini disebabkan ada Panti Asuhan yang tadinya dikelola oleh Dinas Sosial, yang berada di Nagari atau desa Padang Tiakar, pinggir kota Payakumbuh, yang berjarak sekitar satu setengah kilometer dari Bunian, panti asuhan yang saya tempati saat itu, diserahkan pengelolaannya kepada Muhammadiyah. Keterlibatan Dinas Sosial selanjutnya hanya pada pemberian subsidi, tidak lagi pada pengelolaan secara langsung.
Perpindahan lokasi Panti Asuhan tersebut tentu saja membuat saya begitu senang. Karena saya sudah bertekat tidak akan kembali duduk di kelas 1, saya ingin naik ke kelas 2. Keinginan saya tersebut akhirnya terpenuhi, karena saya sudah bertekat tidak akan bersekolah bila tetap duduk di kelas 1. Saya tidak tahu bagaimana pembicaraan antara pimpinan Panti Asuhan dengan pihak sekolah untuk meloloskan saya untuk duduk di kelas 2. Bagi saya yang penting saat itu adalah saya jadi murid kelas 2, selesai.
Pindah asrama ke Padang Tiakar yang jaraknya 1,5 kilometer dari asrama yang lama, tidak membuat saya merasa terhalang untuk bermain ke pasar Payakumbuh. Bila sebelumnya antara panti asuhan dengan pasar cukup dekat karena hanya dibatasi oleh kantor Bupati Kabupaten 50 Kota. Kini saya harus berjalan di bawah panasnya terik matahari dan panasnya aspal jalan raya tanpa alas kaki, karena memang tidak punya. Bila sebelumnya dari panti ke pasar hanya butuh waktu tak sampai 10 menit, maka kini saya harus berjalan dari panti ke pasar hampir 1 jam.
Kenapa begitu lama untuk jalan yang hanya 1,5 kilometer itu? Inilah inti dari kisah ini.
Pulang sekolah saya langsung ke panti. Sampai di panti hal pertama yang saya lakukan adalah shalat zuhur, kemudian berlanjut dengan makan siang. Selesai makan siang baru saya berangkat menuju pasar. Perjalanan melewati jalan Ahmad Yani sejauh 1,5 kilometer itu saya tempuh dengan berjalan kaki, karena waktu itu belum ada angkot untuk menuju pasar, yang ada Cuma bendi atau andong, saya tidak punya uang untuk menaikinya.
Berjalan sejauh 1,5 kilometer itu, bukannya hanya berjalan tanpa berbuat apa-apa, tapi inilah sekolah saya yang sebenarnya. Karena sepanjang jalan itu saya tidak hanya sekadar melihat sambil lalu, tapi saya mengeksplorasi setiap tempat yang saya lewati, terutama tempat yang ada papan namanya, apakah itu nama toko, nama jalan, spanduk atau apa saja yang ada tulisannya, termasuk nama mobil yang lewat di sepanjang jalan.
Dari apa yang saya lakukan inilah, kemampuan membaca saya meningkat dengan pesatnya. Sehingga saya akhirnya hafal nama-nama toko yang ada di sepanjang jalan yang saya lewati dalam perjalanan menuju pasar tersebut. Bukan hanya sekadar hafal, tapi saya bisa menjelaskan secara rinci urutannya dari awal saya berangkat dari panti asuhan hingga berakhir sampai di pasar, nama dan posisi atau lokasi tokonya, begitu juga apa usaha yang digeluti pemiliknya.
Begitu sampai di pasar, pelajaran membaca saya terus diasah semakin tajam. Saya masuk ke sebuah tempat tukang pangkas rambut bernama SINAMAR, sampai di sana lalu membaca surat kabar yang terbit hari itu, karena pemilik pangkas rambut tersebut berlangganan surat kabar Haluan yang terbit di Padang setiap hari.
Tidak hanya sampai disitu, di tempat pangkas rambut itu pulalah saya belajar mengisi teka teki silang yang hadir di setiap hari Minggu di harian Haluan tersebut. Awalnya saya hanya jadi tukang baca pertanyaan dan menyebutkan jumlah kotak yang terdapat di teka teki silang tersebut, kemudian menuliskan jawaban yang diberikan oleh bapak Darusan, sang pemilik tempat pangkas rambut. Selanjutnya saya mulai mencoba memikirkan jawaban pertanyaan TTS yang saya baca. Karena keterbatasan ilmu dan otak saya tidak mendapatkan jawabannya, baru saya menanyakannya. Tapi tak jarang juga saya menemukan jawaban yang tepat untuk jawaban TTS itu. Mengisi TTS ini membuat perkembangan ilmu pengetahuan saya semakin meningkat.
Saya bisa membaca koran disana setiap hari karena salah seorang tukang pangkas yang kerja disana bernama Zul, adalah orang kampung saya. Bukan hanya itu, bila dia melihat rambut saya sudah panjang, saya akan langsung disuruh duduk di kursi pangkasnya dan memangkas rapi rambut saya, gratis, tis.
Saat saya berkelana di Ranah Minang selama 18 hari tahun 2010, saya menyempatkan diri singgah ke pangkas rambut Sinamar ini. Sayang tempat pangkasnya sudah tutup dan juga berganti nama, walau nama Sinamarnya masih ada, tapi sudah bertambah dengan nama ZUL. Dugaan saya, mungkin bapak Darusan pemilik pangkas sebelumnya sudah tua, lalu menyerahkan tongkat estafet pengelolaan pangkas rambut tersebut ke anak buahnya yang bernama ZUL yang masih muda. Nah di saat Zul beranjak tua, dia tidak punya generasi penerus untuk melanjutkan tongkat estafet pengelolaan tempat pangkas rambut tersebut, sehingga akhirnya tutup.
Bagi saya, tutup atau tidaknya tempat pangkas rambut ini, dia sudah menjadi tempat bersejarah dalam perjalanan hidup saya, dan akan selalu terkenang hingga ajal menjelang. Karena jasanya yang cukup besar dalam mengisi otak saya dengan ilmu pengetahuan melalui surat kabar yang saya baca disana setiap hari. Saya baru berhenti berkunjung ke tempat pangkas tersebut ketika saya keluar dari Panti Asuhan dan pindah ke Panti Asuhan yang baru dibangun di kampung saya.
Saya bisa membaca koran disana setiap hari karena salah seorang tukang pangkas yang kerja disana yang bernama Zul, adalah orang yang sekampung dengan saya. Bukan hanya itu, bila dia melihat rambut saya sudah panjang, saya akan langsung disuruh duduk di kursi pangkasnya dan memangkas rapi rambut saya, gratis, tis.
Saat berkelana di Ranah Minang selama 18 hari tahun 2010, saya menyempatkan diri singgah ke pangkas rambut Sinamar ini. Sayang tempat pangkasnya sudah tutup dan juga berganti nama, walau nama Sinamarnya masih ada, tapi sudah bertambah dengan nama ZUL. Dugaan saya, mungkin bapak Darusan pemilik pangkas sebelumnya sudah tua, lalu menyerahkan tongkat estafet pengelolaan pangkas rambut tersebut ke anak buahnya yang bernama ZUL yang masih muda. Nah disaat Zul beranjak tua, dia tidak punya generasi penerus untuk melanjutkan tongkat estafet pengelolaan tempat pangkas rambut tersebut, sehingga akhirnya tutup.
Bagi saya, tutup atau tidaknya tempat pangkas rambut ini, dia sudah menjadi tempat bersejarah dalam perjalanan hidup saya, dan akan selalu terkenang hingga ajal menjelang. Karena jasanya yang cukup besar dalam mengisi otak saya dengan ilmu pengetahuan melalui surat kabar yang saya baca disana setiap hari, hingga saya keluar dari Panti Asuhan Muhammadiyah Payakumbuh dan pindah ke Panti Asuhan yang baru dibangun di kampung saya.