Kepala Sekolah itu Jadi Murid Saya

Sekolah kami setelah di renovasi, aslinya memanjang 6 lokal, seperti terlihat sisa pondasi di sebelah kanan

Sebuah kejadian saat saya duduk di kelas 4 SD tahun 1967. Saya lupa, apakah kejadian ini saat kami masuk sekolah lagi setelah libur habis menerima rapor pertama atau kedua.

Saat masuk sekolah hari pertama, kami belum sepenuhnya belajar, karena sekolah begitu kotor oleh debu maupun daun kayu yang ikut masuk ke dalam kelas, laba-laba pun tidak mau ketinggalan ikut berpartisipasi membuat sarang dengan jaringnya yang bergetah, sehingga mudah melekat dimana saja ketika tersenggol, sehingga tak jarang saya dan teman-teman rambutnya seperti beruban kena jaring laba-laba tersebut.

Selain itu juga ada sampah kotoran kucing dan tikus serta musang. Sekolah kami memang dikelilingi oleh kebun milik orang kampung yang tinggal dekat sekolah.

Habis apel pagi, kami para murid disuruh pulang lagi oleh kepala sekolah, dengan satu perintah semua murid besoknya harus datang ke sekolah membawa peralatan kebersihan, seperti; sapu lidi, sapu ijuk, cangkul, parang, sabit atau apapun yang kami punyai di rumah masing-masing. Karena besok kami diperintahkan gotong royong membersihkan sekolah maupun pekarangannya yang cukup luas, hampir setengah lapangan bola.

Sampai di rumah saya lalu mencari daun kelapa kering di kebun depan rumah, yang jatuh dari pohonnya karena sudah tua. Setelah ketemu lalu memotong lidinya di pangkal daun dan mengumpulkannya. Setelah terkumpul cukup banyak saya lalu membawa daun kelapa tersebut ke dekat tangga rumah. sambil duduk di tangga, saya lalu memisahkan lidi dari daun kelapa kering tersebut.

Setelah lidi terkumpul cukup banyak, saya lalu mengikatnya dengan tali yang terbuat dari pelepah pisang yang sudah mati dan kering karena buahnya sudah dipetik. Saya sengaja mengikatnya dengan tali pelepah pisang tersebut karena tidak punya tali yang terbuat dari ijuk pohon enau yang dijalin. Untuk sementara ikatan tersebut cukuplah, karena saya sudah berencana akan membuat pengikat sapu tersebut dari rotan yang telah dibelah tipis.

Rotan yang sudah dibelah tipis ini cukup banyak di kampung saya karena kampung saya terkenal dengan tukang perabot yang ahli membuat peralatan rumah tangga seperti lemari, meja, kursi makan maupun kursi tamu yang di kampung kami disebut Sice. Rotan tipis ini dianyam untuk jadi alas duduk maupun sandaran kursi Sice tersebut.

Selesai mengumpulkan dan mengikat lidi, saya lalu pergi ke rumah kakak sepupu saya yang mempunyai bengkel perabot dan mempunyai beberapa orang pekerja dengan keahlian masing-masing, seperti membuat kursi, lemari, meja dan sebagainya. Begitu sampai di rumahnya saya lalu meminta satu rotan yang sudah dibelah tipis tersebut. Ketika ditanyakan untuk apa bagi saya rotan tersebut, saya lalu mengatakannya “untuk simpai.” Simpai adalah nama pengikat sapu lidi yang terbuat dari rotan. Kalau sudah jadi bentuknya seperti jalinan yang terdapat pada bola takraw, tapi rajutannya lebih rapat dan bersilang, bukan seperti bola takraw yang lurus.

Saya lalu diberi satu rotan yang panjangnya sekitar 6 meter, lalu membawanya pulang. Karena sudah capek membenahi lidi, saya tidak langsung mengerjakan menjalin rotan tersebut. Saya lalu pergi main ke Simpang Labuah, simpang empat yang letaknya persis di tengah kampung, yang menjadi pusat keramaian di kampung saya.

Pagi besoknya saya berangkat ke sekolah berbarengan dengan adik sepupu saya dan juga teman-teman lainnya. Dengan mengapit sapu di ketiak tangan kiri, di sepanjang jalan ke sekolah yang jaraknya 1 km dari rumah saya tersebut, kedua tangan saya asyik menjalin “Simpai” untuk pengikat sapu lidi agar kuat dan tahan lama. Karena belum selesai hingga sampai di sekolah, saya meneruskan pekerjaan saya di dalam kelas, sambil menunggu lonceng berbunyi dan kerja bakti gotong royong dimulai.

Karena cukup banyak teman-teman yang melihat saya menjalin rotan tersebut, rupanya menarik perhatian kepala sekolah yang juga sudah datang. Kepala sekolah lalu masuk ke kelas kami. Melihat kepala sekolah masuk teman-teman yang tadinya berkerubung mulai menghindar dan membuka jalan buat kepala sekolah mendekati saya.

“Membuat apa kamu?” Kepala sekolah langsung bertanya ketika melihat apa yang saya kerjakan.

“Membuat simpai untuk sapu lidi, Pak…”

“Bisa kamu membuatnya?”

“Bisa, Pak…”

“Masih ada rotannya, coba kamu ajari saya…”

Karena pekerjaan saya sudah hampir selesai dan sisa rotan masih cukup panjang, saya lalu memotong rotan dengan parang yang dibawa teman sambil memperkirakan kecukupannya untuk saya. Untuk sementara sisa pekerjaan saya ditunda dulu, lalu memperagakan bagaimana awal jalinan pembuatan simpai tersebut, lalu saya serahkan melanjutkannya kepada bapak Kepala Sekolah. Begitu jalinan rotan tersebut sudah terbentuk, Kepala sekolah lalu mengatakan:

“Sekarang bapak yang jadi murid kamu…” yang disambut ketawa oleh teman-teman sehingga kelas menjadi ramai. Karena saya orangnya pemalu, saya hanya tersenyum simpul sambil tertunduk dan perasaan serba salah karena mendapat pujian dari kepala sekolah.
Karena waktu sudah pukul 8, kepala sekolah lalu menyuruh salah satu teman memukul bel yang ada di depan kantor guru, gotong royong membersihkan sekolah pun dimulai.