
Adalah Suprapti, salah seorang dari 89 BMi (Buruh Migran Indonesia) Hongkong yang diwisuda sarjana Strata I, di Saint Mary’s University, sebuah universitas swasta yang berpusat di Fiiipina dan membuka cabangnya di Hongkong. Perjuangannya tak mudah memang, Suprapti harus pintar membagi waktu di sela kesibukannya merawat anak majikannya.
Suprapti bersyukur dengan dukungan majikannya, bahkan keluarga besar sang majikan. Mereka tak keberatan Suprapti punya kesibukan lain demi mengejar masa depan. Bahkan jika sekali waktu karena mimpi ini, ia harus meminta izin sejenak dari pekerjaannya. Beginilah sepenggal kisah Suprapti.
Awalnya Tak Terpikir Jadi TKI
Perkenalkan, namaku Suprapti, biasa disapa Prapti. Aku berasal dari Karanganyar, Solo, Jawa Tengah.
Awalnya aku tidak punya niat pergi keluar Negeri. Pernah ada tawaran ke Malaysia, tapi aku tidak diizinkan oleh keluarga. Setelah putar sana-sini cari kerja, aku diterima di sebuah kantor, bagian Adm Accessories. Namun aku tidak bertahan lama. Saat berputar cari pekerjaan lain, kakak yang waktu itu sudah jadi TKI di Hongkong, menyuruhku mencari kerja ke luar negeri saja. Katanya lebih menjanjikan.
Aku lalu mencari sponsor dengan tujuan ke Singapura. Lagi-lagi saat sedang berkemas-kemas, ibuku menangis. Mungkin beliau takut aku mengalami nasib seperti TKI yang sering diberitakan di tv, ada yang dianiaya dan sebagainya. Akhirnya aku terpaksa mengurungkannya kembali.
Hingga beberapa bulan kemudian, kakakku menelpon ibu, meminta izin agar aku boleh bekerja di luar negeri. Dia meminta agar aku bekerja di Hongkong, karena dia juga bekerja di sana.
Setelah mendapat izin keluarga, aku mendaftar ke sebuah PT. Akhirnya pada 5 Mei 2008, aku berangkat ke Jakarta. Baru 2 minggu menunggu persiapan di Jakarta, aku sakit keras selama 2 minggu. Aku sengaja tidak menelpon ibu dan keluarga, takut mereka cemas. Saat itu aku memutuskan, aku tidak ingin langkah ini putus di tengah jalan.
Sudah terlanjur menyeberang sampai ke tepi lautan, walaupun tidak tahu ada apa di pinggir lautan sana. Aku tidak punya bayangan tentang negeri Hongkong sama sekali. Yang kupikirkan hanya mungkin inilah saatnya belajar dewasa, harus siap menerima, apapun yang terjadi. Setelah 2 minggu melewati masa sulit dan merindukan keluarga, aku lantas bangkit dan mengikuti kegiatan PT di penampungan. Mulai dari belajar bahasa, yang awalnya terasa sangat sulit dan membosankan.

Apalagi selama di PT, kami tidak boleh membawa ponsel. Mereka hanya mengizinkan kami memegangnya pada hari Sabtu sore hingga Minggu malam. Saat ada kesempatan, aku SMS kakak yang di Hongkong, aku bilang ingin pindah proses ke Malaysia saja. Tetapi tidak dibolehkan oleh kakak. Beliau tahu bagaimana kondisi di Malaysia. Dia menguatkanku, katanya, ‘Semua butuh proses, nikmati proses kamu saat ini. Esok kamu akan menerima hasilnya.’
Awalnya masih terasa sesak dan aku tetap ingin pindah. Tapi hati kemudian mengatakan, bahwa apa yang diucapkan kakak adalah benar. Sejak itu aku bilang pada diri sendiri, bahwa aku yakin bisa jika ikhlas. Benar, ketika aku mengikhlaskan dan pasrah kepada Allah, Alhamdulillah semua terasa lancar. Aku pun rajin baca buku, tahajud, hingga puasa Senin-Kamis.
Awal interview mencari majikan, aku gagal. Setelah itu ada interview lagi. Kali ini aku mendapat majikan, pekerjaannya menjaga kakek jompo. Namun setelah menunggu hingga 2 bulan rupanya tidak juga ada kabar. Aku sempat menangis saat itu. Karena sudah sekitar 4 bulan aku tinggal di PT tanpa hasil. Kemudian aku mencoba menyadari bahwa mungkin itu bukan yang terbaik.
Insya Allah proses lama, nanti juga di sananya lama. Aku kemudian memanfaatkan waktu dengan turut membantu para guru mengajar bahasa di kelas. Karena Alhamdulillah, saat itu aku sudah lancar berbahasa Kantonis.
Terbang ke Hongkong
Setelah beberapa waktu, akhirnya aku mendapat pekerjaan menjaga 2 anak. Namun pekerjaan ini gajinya underpay dan tidak ada libur. Pikirku, nggak apa-apa gaji under, anggap saja sebagai tempat belajar dan mencari pengalaman.
Hingga setelah menghabiskan waktu kurang lebih 6 bulan di penampungan, tanggal 29 Oktober 2008 aku terbang ke Hongkong. Sampai di Hongkong tinggal di boarding house agency selama 3 hari. Kemudian oleh agency disuruh tinggal bersama ibu yang punya agen. Katanya majikanku masih lama jemputnya, jadi disuruh belajar kerja dulu di rumah nenek, ibunya yang punya agency.
Aku di rumah nenek itu sekitar 2 minggu. Beliau bertempat tinggal di daerah pegunungan pinggiran Hongkong. Di sana aku disuruh bantu di perkebunan. Menanam sayur, menyirami, menyemai dan memupuk. Setelah 2 minggu, agency menelpon nenek. Keesokannya majikan pun menjemputku. Tapi tidak dijemput di kantor agency, melainkan di jalan. Waktu itu aku di antar salah satu staff agency yang juga orang Indonesia, menjumpai majikan di jalan.

Bekerja selama 3 bulan, berapa kali aku dapat bentakan dari tuan di tempat umum. Pas dimarahi aku memang tidak menangis, barulah setelah sampai di rumah, air mata ini tak terbendung. Menjaga anak-anak benar-benar membuatku kewalahan. Satu baru pulang, satunya jemput lagi lalu juga antar sana-sini. Mandi pagi pukul 12 ke atas, pukul 02.00 -03.00 baru mulai tidur, pukul 05.30 bangun lagi.
Tak hanya bentakan dan kerjanya yang berat, hampir setiap pagi aku tidak diberi sarapan. Makan siang pun hanya diberi mi instan 1 bungkus. Masih disuruh kerja di rumah nenek majikan pula. Ada bayi juga kakek jompo yang pakai kursi roda, bersih-bersih, masak di rumah nenek. Untuk menjaga mata, aku minum kopi 4-5 bungkus sehari, hingga akhirnya overdosis. Sudah begitu, aku pernah dituduh nyuri makanan.
Karena tidak boleh terus-terusan pegang ponsel, suatu hari aku sembunyi-sembunyi SMS kakak. Akhirnya pas tidak ada orang aku langsung dibelikan makanan, di antar sampai atas. Satu almariku dipenuhi makanan ringan. Begitulah pertama kali aku ketemu kakak sejak tiba di Hongkong. Ingin rasanya memeluknya, tapi nggak bisa, karena buru-buru takut ketahuan majikan.
Hari Minggu kakak libur, sementara aku tidak. Jadwalku mengantar anak les. Kakak menunggu di bawah apartemen. Kemudian mengikutiku dari belakang. Alhamdulillah sampai di tempat les kami bisa ngobrol saat anak-anak belajar dengan guru lesnya.
Belum ada 4 bulan, aku disuruh mengemasi semua barang, disuruh membawanya ke rumah nenek, seraya dibekali ponsel butut. Aku menurut saja. Sampai di bawah rumah nenek aku ditelpon majikan. Dia bilang, “Mulai saat ini kamu kerja di rumah nenek. Mam nggak menggunakan kamu lagi,”
Jawabku, “Maaf Mam, kontrak kerjaku di rumah Mam, kalau dipindah ke tempat nenek aku takut ditangkap polisi. Tapi kalau disuruh bantu-bantu seperti biasa akan kulakukan.”
Sambil mikir aku tidak pernah mendapat hari libur, majikan laki-laki pun agak rewel, akhirnya aku bilang lagi, “Kalau tidak mau, kembalikan saja aku ke agency, kalau disuruh kerja tidak sesuai kontrak kerja.”
Sebelum telpon ditutup mam bilang lagi, “Ya sudah nanti malam saya call kamu lagi. Kamu balik ke sini. Sekarang kamu kerja dulu di rumah nenek.”
Pukul 11.30 malam mam baru telepon nyuruh pulang. Di dalam bus kedinginan campur kecapekan, aku ketiduran. Sampai kebablasan naik bus, pukul 01.00 baru sampai di rumah. Selama di rumah majikan, kepalaku sering migrain, sakit banget. Tiap malam nahan sakit, nangis. Aku SMS kakak yang di Indonesia suruh tanyakan ke dokter apa tanda-tanda kanker otak, pikiranku memang sampai ke situ. Gara-gara SMS itu, orang rumah jadi ramai.

Orang rumah akhirnya menyalahkan kakak yang di Hongkong. Sampai-sampai kakak kemudian berjanji sama keluarga, “Kalau ada apa-apa dengan adik, aku yang bertanggungjawab, walaupun itu dengan nyawaku sekali pun.”
Setelah 6 bulan akhirnya aku diinterminit setelah selesai potongan gaji. Malam itu sekitar pukul 8, aku sengaja menjatuhkan jemuran, lalu minta izin ke mam nyari jemuran yang jatuh. Padahal aku mencuri waktu ingin menelpon kakak. Sampai di bawah pura-pura belum ketemu, aku telpon kakak menanyakan masalah interminit itu. Sama kakak dibilang tidak apa-apa, yang penting kamu jangan tanda tangan apapun sebelum hak-hak gaji ada di tanganmu.
Aku balik ke atas dan menuruti ucapan kakak. Sempat sedikit gaduh sama mam. Aku di suruh tanda tangan, sementara uangnya baru mau dikasih di bawah apartemen. Tapi ingat ucapan kakak, aku tidak mau melakukan.
Setelah kembali ke agency, aku tidak dicarikan majikan. Oleh kakak aku dijemput dan baru boleh keluar setelah membayar ke agency $ 400 sebagai biaya tinggal di agency selama 2 minggu. Alhamdhulillah waktu itu semua paspor dan dokumen penting ada di tangan, karena waktu keluar dari majikan pertama. aku minta semua dokumen. Dengan dokumen ada di tangan, aku jadi lebih mudah keluar.
Oleh kakak aku dimasukkan agency yang sama dengan dia. Dua minggu di agency yang baru, visaku habis. Akhirnya harus meninggalkan Hongkong dan sampailah di Macau.
Hari-hari Di Macau
Pertama ke Macau aku bersama teman yang habis visanya bersamaan denganku. Kasihan, dia ibu 2 orang anak, baru kerja 5 hari sudah diinterminit.
Dari agency kami dibekali uang $1 Macau. Sekedar buat menelpon pihak agency yang di Macau, cuma bilang, ‘sudah sampai’ lalu mati teleponnya. Setelah dijemput kami naik bus menuju boarding house. Banyak teman di sana, kira-kira 28-30 an orang BMI, juga sedang menunggu visa.
Hidup di boarding house Macau, makan dijatah, mandi dibatasi, cuci baju dicampur jadi satu. Dapat jatah piket, layaknya di penampungan. Ada botol-botol air mineral berjejer di samping tas penghuni boarding house menarik perhatianku. Ternyata untuk minum air mereka beli sendiri-sendiri. Entah airnya tidak cocok atau kenapa, aku yang baru juga ikutan beli.
Selepas 2 bulan di Macau, aku baru mendapat majikan. Jadi dari Hongkong aku kosong, artinya visaku habis di saat aku menganggur. Sambil menunggu visa lagi, juga menunggu pembantu mam keluar dulu baru aku bisa kembali ke Hongkong. Dua bulan lagi setelah interview.
Di Macau, aku sempat kehabisan uang. Alhamdhulillah waktu itu bertepatan dengan bulan puasa, jadi irit. Aku pun merebus air. Teman-teman tidak ada yang mau minum air putih hasil rebusan. Dengan menyebut asma Allah, Bismillahirrahmanirrahim, airnya kuminum. Alhamduillah tidak apa-apa dan enak di lidahku.
Alhamdulillah lagi, kemudian ada yang mencari pembantu part time. Waktu penanggungjawab boarding mengumumkan siapa yang mau kerja part time tanpa pikir panjang aku langsung menjawab sambil angkat tangan.
Alhamdhulillah majikan part time sangat baik. Selama 5 hari kerja aku mendapat upah lumayan, juga uang transport PP naik taxi. Selama aku kerja juga sering diajak ngobrol sama mam-nya, dikasih makan juga baju.
Pas hari ke 6, aku kasihan sama teman yang kehabisan uang. Kebetulan badanku juga lagi tidak fit. Aku lalu menyuruh teman itu menggantikanku sementara waktu. Tapi, pas sampai di tempat kerja, mam langsung telpon ke penanggungjawab penampungan. Mam menanyakan kenapa bukan aku yang datang, kemudian dijawab aku lagi kurang sehat.
Mam sedih, “Gara-gara aku suruh kerja jadi sakit, kasihan, aku jadi merasa bersalah, sampaikan cepat sembuh ya.” Aku sampai menangis terharu waktu diceritakan oleh pengawas penampungan. Padahal aku hanya kerja part time, sedikit kerjanya, kebanyakan malah diajak jalan sama mam. Sekiranya ada kerjaan banyak, aku disuruh bawa teman satu orang. Nah temanku yang mengerjakan. Selama lima hari itu aku ngajak teman 2 kali.
Selama kerja part time itu mam tahu aku peminum kopi. Aku lalu diberi kopi banyak sekali. Sebenarnya saat itu aku juga sudah berhenti ngopi, maka kopi-kopi pemberian mam itu aku bagi ke teman-teman di penampungan.
Ternyata kabarku di interminit dan hidup di Macau terdengar sampai ke telinga ibu. Ya Allah ibu sampai sakit keras karena memikirkanku. Nafasnya sudah sesak. Keluarga semua bingung. Waktu itu kakak tertua ada di Bangka, aku dan kakak kedua di sini. Tinggal kakak ketiga yang dekat.
Akhirnya kakak pertama mengusahakan hari itu harus segera pulang ke kampung dan langsung ke rumah sakit. Hasil uang yang dikumpulkan tanpa pikir panjang langsung dibelikan tiket pesawat. Ibu sudah sangat kritis.
Kemudian kakak yang di Hongkongmenelponku, “Dek, tabahkan hati kamu ya, kamu sudah besar, ada apa-apa kamu juga harus tahu. Orang rumah tak ada yang ingin kamu tahu. Tapi kakak harap kamu bisa menerima, dan seandainya ada apa-apa dengan rumah kamu pulang. Ibu memanggil-manggil kamu terus, ibu kritis.” Mendengar penjelasan kakakku langsung lemas saat itu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Alhamdulillah tak lama kemudian aku dapat majikan yang dekat dengan kakak. Malahan anak asuhku sekolahnya di bawah apartemen kakak. Jadi aku sering main ke apartemen kakak. Majikan beliau awalnya juga galak. Kakak menjaga anak-anak berkebutuhan khusus, gaji under. Tapi beliau telaten dan ulet, hingga bertahan 8 tahun.
Aku diizinkan naik ke apartemen majikan kakak. Mereka sudah tahu, begitu juga majikan-ku. Saat kontrak kakak habis, sebenarnya ia tidak boleh pulang ke Indonesia, disuruh nambah lagi. Tapi kakak sudah merasa cukup. Saat pulang, seluruh keluarga majikan mengantar ke bandara, saling peluk. Ya Allah seperti keluarga sendiri.
Sekarang pun aku bisa merasakan hal yang sama dengan majikanku ini. mereka sangat baik, bahkan menganggapku seperti anak.

Disediakan Ruang Khusus untuk Belajar
Dulu pas belum lama bekerja di rumah Mam,- begitu aku memanggil majikanku ini-, Mam suka mengajakku ngobrol, terutama dalam suatu perjalanan bersama. Di sela-sela obrolan itu, tanpa sengaja aku mengatakan, “Mam, sebenarnya aku ingin sekali melanjutkan sekolah lagi.”
Kemudian Mam menjawab “Sekolah apa di sini? Ya sudah, kamu kerja ngumpulin uang, lalu kembali ke Indonesia untuk biaya sekolah.” Aku tersenyum, waktu itu aku belum tahu bisa kuliah di Hongkong. Setahuku masih seputar kursus saja. Aku pun mengambil kursus komputer.
Berapa bulan kemudian aku menemukan sebuah infprmasi di surat kabar, intinya ada program SI bagi BMI. Aku langsung menelpon kakakku yang kebetulan waktu itu juga masih bekerja di sini. Kakak menyarankan untuk mencari informasi yang pasti dengan mendatangi kampusnya. Kemudian aku menghubungi Mbak Nissa, teman lain yang juga BMI. Aku ingat, dalam suatu kesempatan dia juga mengatakan ingin kuliah. Ternyata dia juga sudah membaca surat kabar.
Namun karena saat itu aku masih belajar komputer, aku menunda pendaftaran selama satu bulan. Baru setelahnya aku mendaftar di jurusan Entrepeneur Saint Mary’s University dan jurusan Ekonomi diSTIE Universitas Adhi Niaga, Jakarta, yang juga membuka cabang di Hongkong. Begitulah, saking semangatnya menyambut kesempatan di depan mata, aku ambil double degree.
Kembali ke majikan. Mulanya beliau belum tahu bahwa setelah selesai kursus komputer aku langsung mendaftar kuliah. Hingga suatu ketika ada ibu dan saudaranya Bapak -majikan laki-laki- datang dari Kanada. Beliau sering mengajakku ngobrol, tanya-tanya tentang keluarga dan sebagainya. Karena kedekatan ini, beliau bahkan seolah mengganggapku seperti cucunya. Suatu hari dia menanyakan, apa saja kegiatanku selama libur. Akhirnya aku pun cerita tentang kuliah ini. Rupanya nenek sangat senang dan mendukung. Malamnya nenek langsung bicara pada Bapak dan Mam. “Mbak nya itu di sini sambil kuliah, jadi jangan disuruh kerja macam-macam, dia juga masih sangat muda. Sayangi dia, biarkan dia sekolah, jangan marahin dia.” Begitu kurang lebih perkataan beliau. Benar saja, Bapak dan Mam menaruh perhatian ke kuliahku. Setiap kali selesai kerja, Bapak menyuruhku cepat-cepat mandi lalu belajar.

Oh iya, di rumah majikanku ini ada satu kamar yang tidak terpakai, hanya untuk menjemur baju. Di kamar kosong itulah aku belajar usai kerja. Kalau sudah begini, majikan tidak pernah memanggilku atau pun menyuruh melakukan sesuatu. Mereka pun tidak protes ketika buku pelajaranku tergeletak di mana-mana.
Mereka tahu aku suka membaca. Malah terkadang aku disuruh duduk di ruang tamu untuk membaca. Kata mereka di sana lebih nyaman, selain ada kursi, lampunya juga lebih terang.
Jika melihatku sampai lembur mengerjakan tugas, mereka juga sering menasehati, “Kamu harus cukup tidur, jangan sampai sakit. Membaca buku boleh, tapi harus lihat waktu. Kasihan mata kamu nanti lelah.
Akhirnya pada acara penganugerahan Majikan Terbaik (Best Boss) yang diselenggarakan Bank Mandiri beberapa waktu lalu, aku masukkan nama majikanku. V
Waktu Mam diberi kesempatan menyampaikan sambutannya, beliau sangat terharu. Dalam sambutannya beliau mengatakan, “Saya sangat senang mbaknya sebentar lagi menyelesaikan sekolahnya. Saya ingin dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan kalau bisa malah jadi boss,” ujarnya tulus. Bahagia sekali mendengarnya.
Selesai mengikuti acara wisuda di kampus, kemarin Mam juga mengucapkan selamat atas kelulusanku. Subhanallah aku diberi sesuatu, aku tidak melihat dari harga, tapi ketulusan hati majikan, tapi arloji itu yang kutahu harganya HK $1000 lebih atau sekitar 1 juta rupiah.
Tak hanya itu, saat aku mengungkapkan keinginan untuk membuka rumah baca di kampung, mereka pun dengan semangat menyumbangkan buku-bukunya di rumah. Sayang buku itu berbahasa dan beraksara Cina, orang-orang di kampungku tak ada yang bisa membacanya. Tapi Alhamdulillah, semoga bisa menjadi sarana belajar •
perjuangan Suprapti ini benar-benar menginspirasi banyak orang, semoga budaya seperti ini terus berkembang
jasa konsultan pajak